Liputan6.com, Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo merespons penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia.
Dalam pernyataannya, Bambang Soesatyo meminta pemerintah bersama pemerintah daerah mendalami faktor sosiologis masyarakat Aceh yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh.
Baca Juga
Serta mencarikan lokasi yang baik bagi pengungsi, dan melakukan dialog dengan pengungsi dan menjelaskan karakter masyarakat Aceh dan kebijakan lokal yang harus dipahami pengungsi.
Advertisement
"Meminta pemerintah menjelaskan kepada masyarakat bahwa Indonesia mempunyai kewajiban membantu terhadap pengungsi yang masuk ke Indonesia, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum internasional yang menyebutkan mengenai prinsip non-refoulement, yang bermakna seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat pengungsi mencari perlindungan, dan diatur juga dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri," kata Bambang Soesatyo dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Senin (20/11/2023).
"Meminta pemerintah menyikapi permasalahan ini dengan mengedepankan sisi kemanusiaan, dikarenakan sebenarnya Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi maupun memberikan solusi permanen bagi pengungsi Rohingya."
"Oleh sebab itu, MPR RI mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB untuk turut menyelesaikan permasalahan Rohingya dari hulu ke hilir, mengingat masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia telah terjadi berkali-kali akibat permasalahan di Myanmar terhadap Rohingya yang masih belum kunjung usai."
Bambang Soesatyo juga meminta pemerintah mengambil sikap tegas dalam mengevaluasi permasalahan berulangnya pengungsi Rohingya ke Indonesia, dan memperkuat kembali mekanisme penanganan dan perlindungan terhadap kasus masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia.
Amnesty International Indonesia Minta Pemerintah RI Pastikan Keselamatan Pengungsi Rohingya di Aceh
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia meminta Pemerintah Indonesia memastikan keberadaan dan keselamatan satu kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya di Aceh pada Kamis, tanggal 16 November 2023.
"Informasi awal yang kami dapatkan menyebut bahwa terdapat setidaknya 249 pengungsi Rohingya yang datang dalam kapal tersebut, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Saat ini mereka berada dalam risiko yang berbahaya pasca penolakan dari masyarakat setempat yang tidak mengizinkan mereka berlabuh dan mendapatkan tempat penampungan sementara," demikian disampaikan Amnesty International Indonesia dalam situs resminya, Jumat (17/11/2023).
 "Berdasarkan informasi yang diterima Amnesty dari berbagai partner organisasi di Aceh, kapal tersebut pertama mendarat di Gampong Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh, pada dini hari 16 November 2023. Namun, warga menolak kapal tersebut untuk berlabuh. Setelah warga memberikan bantuan logistik berupa makanan, mereka menarik kapal tersebut ke laut supaya kembali berlayar. Informasi yang kami terima juga menyebut bahwa satu orang laki-laki yang sakit sempat berlabuh dan diberikan penanganan di fasilitas kesehatan setempat, sementara ada empat orang pengungsi yang melompat dari kapal dan berenang ke daratan."
Kemudian disebutkan pada pukul 17:30 waktu setempat, kapal tersebut mendarat di Gampong Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.
Berdasarkan informasi, kapal tersebut dalam keadaan bocor ketika berlabuh. Masyarakat setempat membantu untuk memperbaiki kapal, mengisi bahan bakar, dan memberikan pakaian layak pakai kepada para pengungsi.
Lima pengungsi yang sebelumnya mendarat di Bireuen juga diantarkan untuk bergabung dengan pengungsi Rohingya lainnya yang berlabuh di Aceh Utara.
"Namun, menjelang malam, para pengungsi dipersiapkan untuk dikembalikan ke kapal dan diminta untuk kembali ke laut oleh warga setempat. Amnesty menerima informasi bahwa pada malam hari kapal tersebut sudah bertolak dari Aceh Utara. Namun, hingga saat ini, Amnesty belum dapat mengkonfirmasi keberadaan pasti dan kondisi kapal pengungsi Rohingya tersebut. Ini adalah kapal ketiga yang membawa pengungsi Rohingya mendarat di Aceh dalam kurun waktu tiga hari berturut-turut."
"Sebelumnya, pada tanggal 14 November 2023, satu kapal yang membawa 196 pengungsi Rohingya berlabuh di Gampong Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie. Esok harinya, pada tanggal 15 November 2023, kapal kedua yang membawa 147 orang pengungsi mendarat di Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Pidie. Para pengungsi yang berlabuh dalam dua kedatangan tersebut diselamatkan dan mendapatkan penampungan sementara di Yayasan Mina Raya, Gampong Luen Tanjong, Kecamatan Padang Tiji."
Advertisement
Amnesty Sayangkan Sikap Pemerintah Indonesia
Amnesty menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang melakukan pembiaran atas pengembalian kapal yang membawa setidaknya 249 pengungsi Rohingya ke laut lepas.
Hal ini dianggap oleh Amnesty sebagai bentuk pengabaian terhadap kemanusiaan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan hukum internasional yang seharusnya dihormati dan ditaati oleh seluruh pihak berwenang di Indonesia.
"Pemerintah Indonesia harus memastikan keberadaan dan keselamatan para pengungsi," tulis Amnesty.
"Peraturan Presiden No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri telah mengatur mengenai mekanisme penyelamatan dan perlindungan pengungsi yang berada di wilayah Indonesia, termasuk peran pemerintah daerah untuk menempatkan pengungsi di dalam penampungan atau tempat akomodasi sementara dan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Lebih lanjut, Pasal 9 Perpres No. 125/2016 mengatur kewajiban pihak berwenang Indonesia untuk melakukan penyelamatan pengungsi yang dalam keadaan darurat ketika keselamatan nyawa mereka terancam."
"Pasal 98 (2) Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.17/1985, menyebutkan bahwa negara pantai, seperti Indonesia, harus mendorong adanya operasi pencarian dan penyelamatan (search and rescue-SAR) yang memadai dan efektif yang berkaitan dengan keselamatan di dalam dan di atas laut. Selain itu, tanggung jawab negara pantai untuk memberikan bantuan kepada orang yang ditemukan terombang-ambing di laut, dan orang-orang yang membutuhkan bantuan darurat di laut termasuk ke dalam hukum kebiasaan internasional yang berlaku pada semua negara."
Amnesty: Pengabaian Masalah Kemanusiaan
Amnesty juga menekankan bahwa penolakan terhadap pengungsi Rohingya merupakan pengabaian terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement.
Meskipun Indonesia bukan merupakan negara pihak Konvensi Pengungsi 1951, prinsip non-refoulement merupakan prinsip dalam hukum kebiasaan internasional yang berlaku secara universal dan melarang negara untuk menolak atau mengembalikan pengungsi ke suatu negara di mana mereka akan dihadapkan dengan bahaya yang tidak dapat dipulihkan.
"Pengungsi Rohingya merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berupaya mencari pertolongan dari persekusi di negara asalnya. Pengabaian Pemerintah Indonesia terhadap kapal pengungsi Rohingya yang dikembalikan ke laut lepas menempatkan mereka dalam bahaya yang sangat serius. Hal ini juga tidak sejalan dengan komitmen hak asasi manusia yang kerap disebut oleh Pemerintah Indonesia dalam lingkup internasional, terlebih lagi dengan posisi Indonesia yang telah terpilih kembali sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2024-2026."
Amnesty mendesak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk melakukan sejumlah hal berikut:
- Melalui Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan kapal yang mengangkut 249 pengungsi Rohingya sesuai dengan mekanisme yang diatur di dalam Peraturan Presiden No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri;
- Mematuhi prinsip non-refoulement dengan memastikan tidak ada pengungsi yang dikembalikan ke negara asal mereka, di mana mereka berada dalam risiko persekusi, penyiksaan, ataupun pembunuhan di luar hukum;
- Menjamin kebutuhan dasar para pengungsi serta memastikan perlindungan hak-hak mereka selama di tempat penampungan, termasuk menjamin keamanan dan keselamatan mereka, serta kebutuhan pangan, air, penampungan, dan kesehatan yang layak.
Advertisement