Liputan6.com, New York - Kepala badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni UNICEF mengatakan pada Rabu (22/11/2023) bahwa Jalur Gaza yang terkepung saat ini menjadi tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak. Bahkan, pihaknya menyebut bahwa gencatan senjata yang saat ini disepakati oleh Israel dan Hamas tidak cukup untuk menyelamatkan hidup anak-anak di sana.
Direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB) bahwa lebih dari 5.300 anak di Gaza tewas sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober. Angka tersebut mencapai 40 persen dari total kematian yang dilaporkan di sana.
Baca Juga
"Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Saya dihantui oleh apa yang saya lihat dan dengar," kata Russell, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Gaza selatan, seperti dilansir CNA, Kamis (23/11/2023).
Advertisement
Meski demikian, Russell menyambut baik kesepakatan yang dicapai oleh Israel dan Hamas pada Rabu untuk membebaskan sandera dan melakukan jeda kemanusiaan.
Namun Russell mengatakan bahwa jeda kemanusiaan saja tidak cukup dan menyerukan "gencatan senjata kemanusiaan yang mendesak untuk segera menghentikan pembantaian ini".
"Agar anak-anak dapat bertahan hidup… agar pekerja kemanusiaan tetap tinggal dan memberikan pertolongan secara efektif… jeda kemanusiaan saja tidak cukup," katanya.
Russell mengatakan bahwa 1.200 anak lainnya diyakini masih berada di bawah reruntuhan bangunan yang dibom atau belum ditemukan.
"Selain bom, roket, dan tembakan, anak-anak Gaza berada pada risiko ekstrem akibat kondisi kehidupan yang sangat buruk," tambah Russell.
Anak-Anak di Gaza Alami Kekurangan Gizi Akut
UNICEF memperkirakan bahwa kekurangan gizi akut pada anak-anak dapat meningkat hampir 30 persen di Gaza dalam beberapa bulan ke depan.
"Satu juta anak – atau seluruh anak di wilayah ini – kini mengalami kerawanan pangan dan menghadapi krisis gizi yang bisa menjadi bencana besar," ungkap Russell.
Lebih jauh, Kepala Dana Kependudukan PBB, Natalia Kanem, menyoroti penderitaan perempuan hamil di Gaza, dengan sekitar 5.500 orang diperkirakan akan melahirkan bayi dalam kondisi yang memprihatinkan pada bulan mendatang.
"Pada saat kehidupan baru dimulai, momen yang seharusnya menjadi kegembiraan dibayangi oleh kematian dan kehancuran, kengerian dan ketakutan," kata Kanem.
Advertisement
Bahaya bagi Kelompok Perempuan
Sima Bahous, yang memimpin UN Women, mengatakan bahwa anak perempuan dan perempuan menghadapi bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Bahous, 67 persen korban tewas di Gaza sejauh ini adalah perempuan dan anak-anak.
"Itu berarti dua ibu terbunuh setiap jam dan tujuh perempuan terbunuh setiap dua jam," katanya.
"Kami telah menyaksikan enam rangkaian kekerasan di Gaza dalam 15 tahun terakhir, namun keganasan dan kehancuran yang terpaksa dialami oleh rakyat Gaza di bawah pengawasan kami telah mencapai intensitas yang belum pernah kami lihat sebelumnya," katanya.
Otoritas Kesehatan Gaza Akui Tidak Lagi Mampu Menghitung Jumlah Korban Tewas
Otoritas kesehatan Gaza, wilayah yang dikuasai Hamas, mengatakan pada Selasa (21/11/2023) bahwa mereka telah kehilangan kemampuan untuk menghitung jumlah korban tewas menyusul runtuhnya sistem kesehatan di wilayah tersebut dan sulitnya pengumpulan jenazah dari daerah-daerah yang dikuasai tank dan pasukan Israel.
Selama lima pekan pertama perang Hamas Vs Israel berlangsung sejak 7 Oktober, otoritas kesehatan Gaza dilaporkan dengan hati-hati melacak korban jiwa. Pembaruan terakhir mereka pada 10 November menyebutkan bahwa korban tewas tercatat 11.078 orang.
Tantangan dalam memverifikasi jumlah korban tewas semakin meningkat seiring dengan intensifnya invasi darat Israel yang disertai dengan putusnya layanan telepon dan internet, menimbulkan kekacauan di seluruh wilayah.
"Disayangkan, otoritas kesehatan belum bisa mengeluarkan statistiknya karena ada gangguan komunikasi antar rumah sakit dan gangguan pada internet," kata juru bicara otoritas kesehatan Gaza Ashraf al-Qudra kepada AP, seperti dikutip, Rabu (11/22/2023).
"Basis data elektronik yang digunakan otoritas kesehatan untuk mengumpulkan korban dari rumah sakit tidak lagi mampu menampilkan nama dan statistiknya."
Advertisement