Liputan6.com, Tiongkok - Sekelompok ilmuwan di China mengklaim sudah berhasil menciptakan "anak" pertama di dunia dari Artificial Intelligence (AI), yang memiliki kebiasaan dan kemampuan mirip dengan anak manusia berusia tiga sampai empat tahun.
Anak yang diberi nama Tong Tong atau "Little Girl" ini dianggap sebagai langkah besar menuju Artificial General Intelligence atau AGI. Hasil karya itu kemudian dipamerkan di pameran Frontiers of General Artificial Intelligence Technology Exhibition.
Model Artificial Intelligence yang inovatif ini dikabarkan mampu untuk melakukan pembelajaran mandiri dan bisa menunjukkan tingkat keterlibatan emosional yang belum pernah terlihat dalam pengembangan AI hingga saat ini, demikian melansir dari Odditycentral.com Minggu (11/2/2024).
Advertisement
Menurut pembuatnya di Beijing Institute for General Artificial Intelligence (BIGAI), Tong Tong terus meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya melalui interaksi dengan manusia dan eksplorasi.
Tong Tong memiliki pikiran dan berusaha memahami akal sehat yang diajarkan oleh manusia. Ia juga bisa membedakan mana yang benar dan salah, mengekspresikan sikapnya dalam berbagai situasi, dan memiliki kekuatan untuk membantu masa depan.
Selama pameran, pengunjung bisa berinteraksi dengan Tong Tong dan mengamati sifatnya berdasarkan hasil dari pemrograman.
Contohnya, ketika ia diprogram agar lingkungannya tetap rapi, avatar virtual akan memasang foto yang miring di dinding, Tong Tong bahkan akan membawa bangku agar bisa memanjat dan mencapai foto tersebut. Jika ada yang menumpahkan susu saat simulasi, dia akan membawa lap untuk membersihkannya.
Bisa Menunjukkan Emosi
Namun, salah satu hal utama yang membedakan Tong Tong dari ciptaan AI lainnya adalah ia memiliki kemampuan untuk secara mandiri menetapkan tugas untuk dirinya berdasarkan nilai dan cita-citanya.
Pembuatnya mengklaim bahwa Tong Tong mampu belajar secara mandiri dan memiliki perasaan seperti gembira, marah, dan juga sedih.
Tong Tong juga bisa berinteraksi dengan orang-orang dengan mimik wajah, gestur, ataupun dengan percakapan. Ia mampu mengindentifikasi dan mengkomunikasikan berbagai perasaan seperti kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, serta bereaksi secara tepat terhadap keadaan emosi orang lain.
Meskipun saat ini ia memiliki kemampuan dan perilaku seperti anak berusia tiga atau empat tahun, Tong Tong terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya.
"Untuk terus maju menuju artificial intelligence, kita harus menciptakan entitas yang dapat memahami dunia nyata dan memiliki berbagai keterampilan," ujar Zhu Songchun, direktur Beijing Institute for General Artificial Intelligence (BIGAI).
Advertisement
Apa Itu Artificial Intelligence
AI atau artificial intelligence adalah salah satu bentuk teknologi yang telah banyak memudahkan hidup di era modern seperti sekarang. AI ditambahkan kedalam sebuah sistem komputer dengan tujuan untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel.
Artificial intelligence adalah teknologi kecerdasan buatan yang sudah ada sejak 1956. Akhir-akhir ini popularitas AI melambung karena peningkatan volume data, algoritma canggih, dan peningkatan daya serta penyimpanan komputasi.
Pada awal tahun 1950, riset pengembangan artificial intelligence adalah mengeksplorasi topik-topik seperti penyelesaian masalah dan metode simbolik. Pada tahun 1960-an, Departemen Pertahanan AS menaruh minat terhadap jenis pekerjaan ini dan mulai melatih komputer-komputer untuk menirukan penalaran manusia yang mendasar.
Salah satunya dilakukan oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) yang menyelesaikan proyek pemetaan jalan pada tahun 1970-an. Dalam proyek tersebut DARPA telah menghasilkan asisten pribadi pintar pada tahun 2003, jauh sebelum Siri, Alexa, atau Cortana dirilis.
AI Jadi Ancaman untuk Para Jurnalis?
AI merupakan ancaman sekaligus peluang bagi jurnalisme. Lebih dari separuh responden yang disurvei untuk sebuah laporan terkait AI mengatakan bahwa mereka khawatir mengenai implikasi etika terhadap profesi mereka sebagai jurnalis.
Meskipun 85 persen responden pernah bereksperimen dengan AI generatif seperti ChatGPT atau Google Bard untuk berbagai tugas, termasuk menulis ringkasan dan membuat berita utama, 60 persen mengatakan mereka juga ragu.
Studi tersebut, yang dilakukan oleh inisiatif JournalismAI London School of Economic, mensurvei lebih dari 100 organisasi berita dari 46 negara tentang penggunaan AI dan teknologi terkait antara April dan Juli, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (9/2/2023).
Dia mengatakan penelitian tersebut menunjukkan bahwa alat AI generatif yang baru merupakan "ancaman potensial terhadap integritas informasi dan media berita.” Namun AI juga dapat menjadi "peluang luar biasa untuk menjadikan jurnalisme lebih efisien, efektif, dan dapat dipercaya."
Para jurnalis menyadari manfaat AI yang menghemat waktu dalam tugas-tugas seperti transkripsi wawancara.
Advertisement