Para Ilmuwan Resah Akibat Es di Laut Antarktika Menyusut Cepat

Tingkat ketebalan es laut di Antartika mencapai titik terendah dalam sejarah untuk tahun ketiga berturut-turut.

oleh Tim Global diperbarui 04 Mar 2024, 12:04 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2024, 12:04 WIB
Gunung Es di Antarktika
Penampakan gunung es yang diberi nama B-15A di McMurdo Sound, setelah menghancurkan Ross Ice Shelf di Antarktika. (Josh Landis / AFP)

Liputan6.com, Madrid - Tingkat ketebalan es laut di Antarktika mencapai titik terendah dalam sejarah untuk tahun ketiga berturut-turut. Penyusutan tersebut menandakan konsekuensi serius bagi kehidupan di Bumi.

Namun ketika mengamati benua paling selatan, ilmuwan Miguel Angel de Pablo menyesalkan bahwa manusia tampaknya tidak menyadari peringatan tersebut.

“Kami (para ilmuwan) sangat khawatir… karena kami tidak tahu bagaimana kami bisa menyelesaikannya sendiri,” kata ahli geologi planet asal Spanyol itu kepada AFP di Pulau Livingston di Kepulauan Antarktika South Shetland, dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (3/3/2024).

“Semakin banyak peringatan yang kami kirimkan… untuk membuat masyarakat sadar akan apa yang terjadi, sepertinya kami tidak didengarkan, bahwa kami (dianggap) sebagai pihak yang menimbulkan kekhawatiran berlebihan,” meskipun ada buktinya, katanya.

Pusat Data Salju dan Es Nasional Amerika Serikat (AS) (US National Snow & Ice Data Center/NSIDC) melaporkan pada Rabu (28/2) bahwa selama tiga bulan berturut-turut pada Februari, luas minimum es laut di Antartika berada di bawah dua juta kilometer persegi, masa puncak musim pencairan musim panas di wilayah selatan.

Tutupan es laut minimum selama tiga tahun terakhir adalah yang terendah sejak pencatatan dimulai 46 tahun lalu.

Mencairnya es laut tidak berdampak langsung pada permukaan laut, karena es terbentuk dari pembekuan air asin yang sudah ada di lautan. Namun, es putih memantulkan lebih banyak sinar matahari dibandingkan dengan air laut yang lebih gelap. Hilangnya es tersebut semakin memperburuk pemanasan global dan juga mengekspos lapisan es air tawar di darat, yang dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan jika mencair.

“Meskipun kita jauh dari wilayah yang berpenghuni di planet ini, kenyataannya apa yang terjadi di Antartika berdampak pada seluruh wilayah di dunia,” kata De Pablo.

Penurunan Volume dalam 25 Tahun Terakhir

Es Laut Antarktika
Kapal pemecah es kutub milik China Xuelong 2 berlayar melintasi area es terapung di Laut Kosmonaut dan bertolak untuk melakukan perjalanan melalui area Bumi antara 40 dan 50 derajat lintang selatan, dalam ekspedisi Antarktika ke-36 China, pada 10 Januari 2020. (Xinhua/Liu Shiping)

Sebuah studi pada tahun lalu menemukan bahwa hampir separuh dari rak es di Antarktika – lembaran terapung yang melekat pada daratan – juga mengalami penurunan volume dalam 25 tahun terakhir, melepaskan triliunan ton air cair ke lautan.

De Pablo mengatakan hal ini berdampak tidak hanya pada permukaan laut tetapi juga salinitas dan suhu laut.

Beberapa ilmuwan mengatakan bukti dampak perubahan iklim terhadap pencairan es laut di Antartika – yang terkenal dengan variasi tahunan yang signifikan dalam pencairan musim panas dan pembekuan musim dingin – kurang jelas dibandingkan di kutub utara Arktik.

Yang tidak diragukan lagi adalah bahwa pemanasan global yang berkelanjutan yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca oleh manusia akan mempengaruhi pola-pola ini di masa depan.

De Pablo, yang telah mengabdikan 16 tahun hidupnya untuk mempelajari es Antarktika, mengatakan kepada AFP bahwa mungkin sudah terlambat untuk menghentikan tren tersebut.

“Masalahnya adalah degradasi ini tidak mudah diatasi,” katanya.

“Bahkan jika saat ini kita (mengubah) ritme kehidupan masyarakat Barat, esok hari gletser tidak akan berhenti terdegradasi dan tanah beku tidak akan hilang,” dengan segala konsekuensinya.

 

Suhu Global Lebih Panas

Gunung Es
Dalam foto selebaran 1 Oktober 2019, kondisi pecahan gunung es yang dikenal sebagai 'Loose Tooth' atau gigi yang tanggal di lapisan es Amery, Antartika. Ini adalah gunung es terbesar yang dihasilkan Antarktika dalam periode lebih dari 50 tahun. (Richard COLEMAN/AUSTRALIAN ANTARCTIC DIVISION/AFP)

Para ilmuwan memperkirakan suhu global secara keseluruhan sudah 1,2 derajat Celcius lebih panas dibandingkan suhu pra-industri. Perjanjian Paris pada 2015 menetapkan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 C dengan membatasi emisi yang menyebabkan pemanasan global.

“Kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah cara kita menjalani kehidupan sehari-hari benar-benar bermanfaat karena pada akhirnya kita akan kehilangan planet kita,” kata De Pablo.

“Tidak ada planet kedua di Bumi,” tambahnya. 

Infografis Suhu Panas Menerjang Indonesia
Infografis Suhu Panas Menerjang Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya