Liputan6.com, Jakarta - Puncak badai matahari yang diprediksi akan terus terjadi. Badai matahari ini merupakan bagian dari siklus aktivitas matahari yang terjadi setiap 11 hingga 25 tahun.
Pada fase ini, matahari akan mencapai aktivitas puncaknya ditandai dengan peningkatan jumlah bintik matahari (sunspot) dan ledakan energi berupa lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME) serta gelombang radiasi. Fenomena ini menimbulkan dampak signifikan tidak hanya pada teknologi di Bumi tetapi juga bagi manusia dan satelit yang beroperasi di orbit.
Advertisement
Aktivitas matahari saat ini diperkirakan mencapai puncaknya antara akhir 2024 hingga awal 2025. Dikutip dari laman National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada Jumat (20/12/2024), puncak siklus ini cenderung lebih aktif dibanding prediksi awal.
Advertisement
Baca Juga
Aktivitas intens yang diamati termasuk peningkatan lontaran plasma dan gelombang geomagnetik, yang dapat memicu badai geomagnetik di Bumi. Badai matahari akan memengaruhi medan magnet bumi dengan intensitas tinggi.
Akibatnya, sejumlah dampak dapat dirasakan, seperti gangguan jaringan listrik, navigasi satelit, dan komunikasi radio. Bahkan, aurora atau cahaya utara (northern lights) yang biasanya hanya terlihat di wilayah kutub berpotensi muncul di lintang yang lebih rendah.
Melansir laman Space pada Jumat (20/12/2024), para peneliti menemukan lubang korona sebesar 60 kali diameter bumi di khatulistiwa matahari pada Desember 2023. Penemuan ini merupakan hal yang luar biasa sekaligus mengerikan.
Lubang korona ini merupakan wilayah pada atmosfer luar matahari yang lebih dingin dan memiliki kerapatan rendah. Fenomena ini memancarkan angin matahari berkecepatan tinggi yang dapat mencapai bumi dalam waktu 2 hingga 3 hari.
Keberadaan lubang korona di khatulistiwa Matahari menjadi fenomena yang tidak biasa karena umumnya lubang korona muncul di kutub utara dan selatan matahari. Hal ini menjadi indikasi peningkatan aktivitas matahari menjelang puncak Siklus 25, sekaligus membawa risiko lontaran angin matahari yang lebih kuat.
Dengan semakin dekatnya puncak badai matahari pada akhir 2024 hingga awal 2025, ilmuwan dan lembaga terkait seperti NASA meningkatkan pemantauan terhadap aktivitas matahari. NASA melakukan pemantau secara real time menggunakan teknologi Observatorium Dinamika Matahari (SDO).
Teknologi ini memungkinkan NASA mengirimkan sistem peringatan kepada operator satelit di seluruh dunia untuk memindahkan satelit mereka. Tujuannya untuk menghindari kerusakan akibat badai geomagnetik.
Apakah Badai Matahari Berbahaya bagi Manusia?
Melansir akun X NASA pada Jumat (20/12/2024), NASA menjelaskan bahwa Badai Matahari tidak memiliki bahaya apa pun bagi manusia yang berada di Bumi. Pasalnya, medan magnet Bumi dan atmosfer tebal melindungi dari dampak langsung fenomena tersebut.
"Bagi kita yang berada di lapangan, jawaban singkatnya adalah tidak. Medan magnet bumi dan atmosfer tebal melindungi kita dari dampak langsung badai matahari. Anda tidak memerlukan pelindung radiasi apapun - planet kita menyediakannya," tulis akun NASA.
Bumi mempunyai medan magnet yang kuat dan besar yang dihasilkan oleh besi cair bermuatan yang berputar di intinya, sehingga menghalangi angin matahari bermuatan yang mengalir menuju bumi. Hal inilah yang disebut magnetosfer.
Magnetosfer bumi cukup besar dan kuat yang membentang ratusan kali radius bumi atau kira-kira 4.000 mil. Magnetosfer menghadapi tekanan lebih besar pada sisi yang menghadap Matahari, yang luasnya 6 hingga 10 kali radius bumi (antara 25.000 mil hingga 40.000 mil).
Namun, berbeda dengan astronaut di luar angkasa yang tidak memiliki banyak pelindung, Badai Matahari akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap mereka.
Partikel matahari yang energik dapat membuat astronaut terkena radiasi berbahaya. Dalam kondisi paling ekstrem, badai tersebut akan mengganggu komunikasi radio jarak jauh para astronaut yang berpotensi membahayakan.
NASA juga mengatur prosedur darurat bagi astronaut untuk berlindung saat terjadi Badai Matahari, seperti dengan penghentian sistem sensitif di satelit terlebih dahulu. Kemudian pesawat ruang angkasa astronaut yang harus dilengkapi tempat perlindungan.
Fenomena Badai Matahari biasanya memicu kemunculan aurora di sejumlah wilayah di Bumi. Pasalnya, CME dapat memicu badai geomagnetik yang pada akhirnya bisa menghasilkan tampilan aurora.
(Tifani)
Advertisement