Liputan6.com, Tokyo - Seorang pakar demografi Jepang, Hiroshi Yoshida, dari Tohoku University’s Research Center for Aged Economy and Society, menyarankan agar cuti ayah untuk mengasuh anak dijadikan kebijakan wajib guna mengatasi penurunan angka kelahiran yang mengkhawatirkan di Jepang.
Menurut Prof. Yoshida, rendahnya partisipasi laki-laki dalam pengasuhan anak menjadi salah satu faktor yang memperburuk masalah demografi di negara tersebut. Ia mencontohkan kebijakan "Papa Quota" di Norwegia, yang mewajibkan para ayah mengambil minimal satu bulan cuti setelah kelahiran anak, dan mendorong implementasi pendekatan serupa di Jepang.
Advertisement
Baca Juga
"Partisipasi pria dalam pengasuhan anak di Jepang sangat rendah dan perlu ditingkatkan secara signifikan," ujar Prof. Yoshida, seperti dikutip dari laman The Independent, Kamis (16/1/2025).
Advertisement
Prof. Yoshida menyoroti bahwa meskipun peran perempuan dalam masyarakat telah berkembang, dukungan sosial untuk membantu keluarga menyeimbangkan pekerjaan dan pengasuhan masih minim. Akibatnya, banyak perempuan merasa sulit memiliki anak sambil mempertahankan karier mereka.
"Jika perempuan tidak dapat memiliki anak sambil tetap berkarier, pernikahan menjadi tidak berarti bagi mereka," jelasnya.
Hal ini, menurut Prof. Yoshida, menjadi penyebab utama menurunnya angka pernikahan di kalangan pasangan muda, yang akhirnya berdampak pada penurunan angka kelahiran.
Angka kelahiran Jepang mencapai rekor terendah pada tahun 2023, yakni 1,20, dengan Tokyo mencatat tingkat kelahiran di bawah satu. Kondisi ini dipicu oleh semakin sedikitnya pasangan yang menikah dan meningkatnya jumlah individu yang memilih untuk tetap lajang.
Pentingnya Partisipasi Lansia
Selain mereformasi kebijakan cuti ayah, Prof. Yoshida mengusulkan partisipasi lebih aktif dari warga lanjut usia untuk mengisi kekosongan tenaga kerja yang ditinggalkan generasi muda yang mengambil cuti pengasuhan.
"Melibatkan pekerja lanjut usia hingga usia 70-75 tahun serta memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan dapat membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja," katanya.
Langkah ini, menurut Prof. Yoshida, tidak hanya mendukung implementasi cuti pengasuhan anak, tetapi juga memungkinkan generasi muda untuk fokus pada keluarga mereka tanpa khawatir terhadap dampak negatif pada karier mereka.
Walau Jepang memiliki ketentuan cuti ayah, survei menunjukkan bahwa hanya sedikit ayah yang memanfaatkannya.
Sebuah survei tahun lalu oleh Kamar Dagang dan Industri Jepang menemukan bahwa lebih dari 52 persen dari 2.880 perusahaan kecil dan menengah kekurangan tenaga kerja untuk menggantikan karyawan yang mengambil cuti pengasuhan anak.
Prof. Yoshida menegaskan bahwa mengatasi tantangan ini membutuhkan penyesuaian besar di tempat kerja dan kebijakan yang terintegrasi. Dengan reformasi menyeluruh, ia optimis Jepang dapat membalikkan tren penurunan angka kelahiran dan memastikan keberlangsungan demografisnya.
Advertisement