19 Januari 1990: Demonstrasi Anti-Apartheid Protes Tur Kriket Inggris di Afrika Selatan

Aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap para pemain kriket yang melawan larangan bermain di Afrika Selatan, yang pada saat itu masih menerapkan kebijakan apartheid.

oleh Alya Felicia Syahputri diperbarui 19 Jan 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2025, 06:00 WIB
mantan kapten kriket Inggris Mike Gatting (AFP/Arsip)
Mantan kapten kriket Inggris Mike Gatting (AFP/Arsip)... Selengkapnya

Liputan6.com, Johannesburg - Dalam sejarah tercatat bahwa tepat 35 tahun yang lalu pernah terjadi demo di Johannesburg, Afrika Selatan, sebagai protes terhadap tur kriket kontroversial yang melibatkan pemain asal Inggris. Aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap para pemain yang melawan larangan bermain di Afrika Selatan, yang pada saat itu masih menerapkan kebijakan apartheid.

Kala itu, ratusan demonstran, mayoritas di antaranya membawa poster yang artinya "Apartheid Bukan Kriket" dan "Larang Tur Rasis," berkumpul di ruang kedatangan Bandara Jan Smuts menunggu kedatangan 15 turis kriket Inggris yang dipimpin oleh mantan kapten Mike Gantting.

Para pemain tiba tiga jam terlambat, namun polisi sudah lebih dulu bergerak membubarkan massa menggunakan pentungan, gas air mata, dan anjing.

Di tengah kericuhan, Winnie Mandela, istri pemimpin African National Congress (ANC) atau Kongres Nasional Afrika Nelson Mandela, terlihat di antara kerumunan sambil menghapus air mata. Ia kemudian mengecam aksi brutal polisi.

"Anda menikmati banyak keuntungan di atas penderitaan warga kulit hitam di Afrika Selatan," teriak seorang aktivis anti-apartheid seperti yang dikutip dari  BBC On This Day, Minggu (19/1/2025).

Tur ini diselenggarakan oleh Direktur Utama South African Cricket Union (Uni Kriket Afrika Selatan), Dr. Ali Bacher, meski mendapat tentangan keras dari ANC dan National Sports Congress (Kongres Olahraga Nasional) yang mayoritas beranggotakan warga kulit hitam.

Kedua organisasi tersebut mengancam akan mengganggu pertandingan dan menghentikan permainan sebagai bagian dari kampanye mereka untuk memperketat sanksi terhadap Afrika Selatan.

Dr. Bacher, yang secara terbuka menentang apartheid, beralasan tur ini bertujuan mengumpulkan dana dan mempromosikan kriket di berbagai lapisan masyarakat. Bahkan, para pemain Inggris dijadwalkan ikut dalam program pelatihan di permukiman kulit hitam.

Namun, kunjungan ini memicu kecaman luas. Mike Gatting, yang dihadapkan pada gelombang pertanyaan dari wartawan setelah tiba, menyatakan tidak melihat langsung kekerasan di bandara.

"Kami berharap demonstrasi berjalan damai. Kami tidak senang jika demonstrasi damai justru terganggu," ujarnya.

Meski pihak penyelenggara merahasiakan bayaran para pemain, laporan menyebut Gatting menerima £100.000 sekitar (Rp1,9 miliar) untuk memimpin tur tersebut. Ia juga menghadapi ancaman larangan bermain hingga lima tahun dari kriket uji internasional.

 

 

Kerusuhan dan Pembatalan Tur

Ilustrasi kriket
Ilustrasi kriket. Photo by samarth shirke on Unsplash... Selengkapnya

Tur kriket ini akhirnya harus dihentikan lebih awal setelah 25 hari demonstrasi dan ledakan di tempat pertandingan kedua di Newlands, Cape Town.

Perubahan iklim politik, termasuk pembebasan Nelson Mandela pada 11 Februari 1990, membuat Dr. Bacher memutuskan untuk membatalkan tur demi keselamatan para pemain.

Tur kedua yang dijadwalkan pada musim dingin berikutnya juga dibatalkan. Para pemain dilaporkan tetap menerima pembayaran penuh meski tur gagal dilanjutkan.

Mike Gatting akhirnya menjalani larangan bermain selama tiga tahun sebelum kembali ke tim Inggris dalam tur ke India dan Sri Lanka pada 1992-1993. Penampilan terakhirnya di kriket uji internasional adalah pada tur 1994-1995 ke Australia, di mana ia mencetak 117 angka dalam pertandingan di Adelaide.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya