21 Januari 1992: Sanksi PBB Desak Libya Serahkan 2 Agen Intelijen Dalang Bom Pesawat Lockerbie

Dewan Keamanan PBB mendesak Libya menyerahkan dua agen intelijen yang diduga terlibat dalam tragedi bom Lockerbie pada 1988, dengan ultimatum sanksi jika tidak dipatuhi.

oleh Alya Felicia Syahputri diperbarui 21 Jan 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2025, 06:00 WIB
Lamen Khalifa Fhimah {kiri} dan Abdel Basset Ali al-Megrahi {kanan} agen Libya yang dituduh melakukan pengeboman terhadap Penerbangan Pan Am 103 pada tahun 1988 (AP/Arsip)
Lamen Khalifa Fhimah {kiri} dan Abdel Basset Ali al-Megrahi {kanan} agen Libya yang dituduh melakukan pengeboman terhadap Penerbangan Pan Am 103 pada tahun 1988 (AP/Arsip)... Selengkapnya

Liputan6.com, Lockerbie - Mengenang kembali peristiwa bersejarah, tepat 33 tahun yang lalu pada 21 Januari 1992. Saat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah memerintahkan Libya untuk menyerahkan agen intelijen yang dituduh terlibat dalam pemboman Lockerbie dan pesawat Prancis.

Laporan BBC On This Day yang dikutip Selasa (21/1/2025) menyebut dewan Keamanan PBB beranggotakan 15 negara dengan suara bulat mengadopsi resolusi mendesak Libya untuk segera memberikan tanggapan penuh dan efektif, terhadap permintaan Inggris dan Amerika Serikat agar dua tersangka --Lamen Khalifa Fhimah dan Abdel Basset Ali al-Megrahi-- diserahkan untuk diadili.

Resolusi tersebut juga mewajibkan Libya bekerja sama dengan penyelidikan Prancis terkait pemboman pesawat UTA milik Prancis di Nigeria pada tahun 1989, yang menewaskan 171 orang.

Para diplomat Barat menyatakan bahwa mereka akan mengupayakan sanksi selektif dari PBB terhadap Libya dalam hitungan minggu jika kedua tersangka Lockerbie tidak diserahkan.

Kedua tersangka dituduh berkonspirasi untuk menempatkan bom yang disembunyikan dalam perekam kaset radio di dalam koper pada penerbangan Air Malta yang terhubung dengan Pan Am 103 di Frankfurt. Bom tersebut meledak di atas Lockerbie pada 21 Desember 1988, menewaskan seluruh 259 orang di dalam pesawat dan 11 orang di darat.

Awalnya, polisi di Skotlandia dan Amerika Serikat mencurigai kelompok Popular Front for the Liberation of Palestine - General Command /PFLP-GC  (Front Populer untuk Pembebasan Palestina - Komando Umum) yang berbasis di Suriah terlibat dalam pemboman tersebut.

Namun, bukti lebih lanjut mengarah pada kesimpulan bahwa Libya memerintahkan dan melaksanakan serangan ini sebagai balasan atas penembakan pesawat Iran oleh rudal AS pada tahun 1988.

Resolusi ini menjadi yang pertama kali Dewan Keamanan PBB memerintahkan suatu negara untuk mengekstradisi warganya. Selain itu, ini adalah kali pertama PBB secara implisit menuduh negara anggota terlibat dalam terorisme negara.

 

 

Tekanan Internasional terhadap Libya dalam Kasus Lockerbie

Pengeboman Lockerbie tahun 1988 menewaskan 190 warga Amerika dan 43 warga Inggris, termasuk 11 penduduk Lockerbie (AFP/Arsip)
Pengeboman Lockerbie tahun 1988 menewaskan 190 warga Amerika dan 43 warga Inggris, termasuk 11 penduduk Lockerbie (AFP/Arsip)... Selengkapnya

Meski demikian, keluarga korban pemboman Lockerbie mengkritik resolusi PBB yang dianggap lemah dan tidak memadai.

"Ada bukti kuat bahwa Suriah dan Iran juga terlibat," ujar Daniel Cohen, yang kehilangan putrinya, Theodora, dalam insiden tersebut.

"Namun, karena alasan politik, Amerika Serikat dan Inggris mempersempit kasus Pan Am 103 hanya dengan menuduh dua warga Libya."

Seorang pejabat senior Libya menyatakan bahwa Tripoli tidak berniat mengekstradisi kedua tersangka.

Jadualah Azuz Talhi, mantan menteri luar negeri yang memimpin delegasi Libya, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa kedua tersangka tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya.

Tak lama setelah resolusi tersebut, Libya setuju menyerahkan kedua tersangka pemboman Lockerbie dengan syarat mereka diadili di negara netral. Namun, Inggris menolak syarat tersebut dan PBB akhirnya menjatuhkan sanksi untuk memaksa Libya menyerahkan tersangka.

Diperlukan sembilan tahun perdebatan hukum sebelum akhirnya Kolonel Khadafi menyerahkan Abdel Basset Ali al-Megrahi dan Lamen Khalifa Fhimah dengan ketentuan mereka diadili di pengadilan netral berdasarkan hukum Skotlandia.

Abdel Basset Ali al-Megrahi dijatuhi hukuman seumur hidup setelah persidangan berlangsung di Camp Zeist, Belanda. Namun, rekannya dibebaskan karena dinyatakan tidak bersalah.

Keluarga dari 170 korban pemboman pesawat Prancis itu akhirnya menyetujui kompensasi sebesar $170 juta setara dengan(Rp2,7 triliun) yang ditawarkan oleh Libya pada Januari 2004.

Tripoli tidak pernah mengakui tanggung jawab atas pemboman tersebut, meskipun enam pejabat Libya telah dihukum in absentia oleh pengadilan Prancis pada tahun 1999.

Libya menolak mengekstradisi keenam pejabat tersebut, yang salah satunya adalah saudara ipar Kolonel Khadafi, dan terus menyatakan bahwa mereka tidak bersalah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya