WNI Tanpa Dokumen Dibayang-bayangi Kebijakan Imigrasi Trump: Bergetar Tiap Kali Lihat Polisi

Tiga WNI ini memilih pasrah sambil terus menjalani kehidupan mereka.

oleh Tim Global diperbarui 06 Feb 2025, 07:03 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2025, 07:03 WIB
Ilustrasi bendera Amerika Serikat.
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (AFP Photo)... Selengkapnya

Liputan6.com, Washington, DC - Badan Penegakan Imigrasi dan Cukai Amerika Serikat (ICE) telah menangkap sekitar 8.000 imigran tanpa dokumen sejak Donald Trump kembali menjabat di Gedung Putih. Menghadapi penggerebekan dan penangkapan ICE, imigran asal Indonesia yang masuk kategori tanpa dokumen, merasa ketakutan, namun kemudian mengaku pasrah.

Rina melangkah cepat di kawasan Manhattan, Kota New York. Bukan karena angin musim dingin yang tetap menusuk tulang walaupun dia sudah mengenakan jaket, namun dia ingin segera tiba di tempat kerja.

Tepat tengah hari dia mulai bekerja. Tengah malam, selepas bekerja, Rina yang meminta nama lengkapnya tidak disebut, kembali bergegas melangkah ke subway, yang membawanya kembali ke rumah kos.

Setiap kali melihat polisi, Rina mengatakan badannya bergetar. Kerap kali dia kesulitan berusaha tampil tenang karena jantungnya berdegup keras.

Setiap hari seperti itu, ujar Rina, perempuan muda yang bekerja di sebuah restoran. Dia bekerja 10 jam. Nyaris tidak ada waktu untuk bersosialisasi walaupun ada hari libur kerja.

"Saya kebetulan juga bagusnya nggak terlalu bergaul sama orang. Jadi, nggak punya koneksi luas gitu," kata Warga Negara Indonesia (WNI) itu seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (6/2/2025).

Pada hari pertama menjabat, Trump mengesahkan instruksi terkait imigrasi, memungkinkan upaya untuk menindak tegas imigran ilegal. Dia menandatangani Undang-Undang Laken Riley, yang memungkinkan penahanan imigran ilegal yang dituduh melakukan pencurian, perampokan, penyerangan terhadap petugas penegak hukum, dan kejahatan apa pun yang menyebabkan kematian atau cedera tubuh yang serius.

Luasnya penggerebekan oleh petugas imigrasi, semakin membuat Rina ingin "hilang" dari radar. Dia lebih banyak diam di rumah, hanya keluar untuk pergi dan pulang kerja. Itupun dengan was-was.

"Mau gimana lagi ya? Cuma bisa pasrah saja menjalani. Takut sih, takut. Cuma mau gimana? Kalau dipikirkan terus, nanti sakit lagi. Keluar biaya kan?" cetusnya diiringi tawa getir.

Rina mengaku terpaksa melanggar izin tinggal di AS. Alasannya, masih punya tanggungan. Dia berutang banyak untuk bisa datang ke AS tahun lalu sebagai pekerja magang.

"Tanggungan buat ke sini kemarin. Mudah-mudahan Maret ini sudah lunas. Cuma perlu waktu lagi sedikit saja biar lunas," ujarnya.

Setelah itu langsung pulang? Rina menggeleng. "Kalau bisa, saya ingin diberi kesempatan untuk mempunyai tabungan."

"Maunya kan biar utangnya itu lunas, terus punya tabungan gitu. Punya tabungan sedikit saja, langsung, kalau bisa, pulang sendiri biar nggak sampai dipulangkan gitu."

Berbagai laporan media tentang penggerebekan di berbagai kota, termasuk Kota New York, menciutkan hati Rina. Ingin pulang, tetapi tanggungan utang memaksanya bertahan. Dia pun merasa betah di New York. Apalagi pekerjaan sekarang memberinya penghasilan yang jauh lebih besar daripada yang bisa dia terima kalau bekerja di Indonesia.

"Bingung juga sih. Cuma bisa berdoa untuk sekarang. Berdoa sambil jalan gitu. Mau gimana lagi?"

Ketahui Hak Anda

Ilustrasi uang dolar Amerika Serikat. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Ilustrasi uang dolar Amerika Serikat. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)... Selengkapnya

Bertahan, sambil terus berdoa, hanya itu yang juga dilakukan Nanda di Alabama. Bapak satu anak usia 5 tahun ini mengatakan, "Pasrah saja. Mau stay saja dulu sementara. Jalani saja dulu."

Nanda, yang juga tidak ingin nama lengkap dan kota tempatnya berada sekarang disebutkan, memilih bertahan, menempuh risiko penangkapan, seusai menjalani program magang kerja satu tahun. Alasannya, supaya nanti bisa pulang dengan membawa sedikit modal. Ia nekat walaupun dokumen yang dikantonginya seadanya.

"Cuma ada paspor. ID (tanda pengenal) saya sejak bulan lalu sudah tidak berlaku," tutur Nanda.

Asosiasi Pengacara Indonesia Amerika (Indonesian American Lawyers Association/IALA) menggelar webinar pada Sabtu lalu (1/2) untuk menanggapi kecemasan sebagian WNI di AS. Lima pengacara dalam acara itu menjelaskan hak-hak imigran dan cara menavigasi perubahan imigrasi.

Para pengacara mengajak masyarakat tenang, mengingatkan untuk membawa kartu identitas, memberi informasi tentang hak-hak imigran 'Know Your Rights' yang terangkum dalam kartu kecil, dan menjelaskan langkah yang perlu dilakukan kalau sampai terciduk ICE. Diinformasikan pula nomor-nomor hotline KBRI dan KJRI di seluruh AS.

Di antara pengacara itu adalah Haroen Calehr. Sudah lebih dari 20 tahun dia berpraktik hukum di Houston, Texas. Dia mengaku sulit untuk tenang ketika menghadapi penggerebekan atau pencidukan ICE. Apalagi kalau pihak berwajib membawa senjata atau datang membawa pasukan.

Namun, kata Haroen, "Tetap nomor satu ya bersikap tenang, jangan gerak-gerik yang aneh-aneh. Kalau memang tidak berani menjawab dengan lisan, ya tunjukkan saja kartu 'Know Your Rights', ketahui hak Anda. Di situ kan sudah tertera."

Kalau mau menjawab, sebut Haroen, secukupnya. Nama, tanggal lahir, asal negara. Dia mengingatkan bahwa bisa pula disampaikan permintaan untuk bertemu pengacara kalau sudah memiliki atau perwakilan diplomatik.

"Memang dari undang-undang internasional yang juga sudah disepakati AS (adalah) salah satu hak orang asing yang ditangkap untuk bisa berkonsultasi atau didampingi penjabat konsuler negara mereka," tutur Haroen.

Lembaga Pew Research Center memperkirakan terdapat sedikitnya 11 juta imigran tidak berdokumen di AS. Haroen mengutip data dua tahun lalu dari Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS yang menunjukkan bahwa dari jumlah itu, 60 persen masuk kategori overstay atau melanggar masa tinggal.

Haroen mengungkapkan, "Dari segi undang-undang hukum imigrasi, kitab undang-undang hukum imigrasi, (overstay) itu bukan suatu pelanggaran pidana."

Namun, menurut kacamata pemerintahan Trump, overstay adalah pelanggaran UU Federal. Pelakunya, menurut juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt, juga akan dideportasi.

Nanda dan Rina masuk kategori overstay. Demikian pula Linda di Alaska, yang meminta nama lengkapnya tidak dicantumkan.

Nanda dan Rina baru beberapa bulan overstay. Sedangkan Linda sudah belasan tahun. Seperti Nanda dan Rina, Linda mengaku pasrah dan memilih bertahan.

"Ya sudah, diam saja. Ya, kita di sini ya nggak kemana-mana. Ya pokoknya kita, rumah, kerjaan, begitu saja," ujar Linda.

Sampai kapan akan bertahan?

"Ya nggak tahulah, ke depannya gimana," jawab Linda.

Untuk meredam keresahan Nanda, Rina, Linda, dan imigran lain yang tidak berdokumen, Haroen mengatakan, "Badai (ini) akan berlalu."

Sebelumnya, menanggapi rangkaian penggerebekan imigrasi, KBRI di Washington mengingatkan WNI di AS untuk senantiasa membawa kartu identitas dan bersikap tenang ketika berhadapan dengan ICE maupun aparat lain.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya