Liputan6.com, New York - Di bawah Presiden Donald Trump, Amerika Serikat (AS) mengambil langkah berbeda dari sekutu-sekutunya di Eropa dengan menolak menyalahkan Rusia atas invasi ke Ukraina.
Langkah ini terlihat jelas dalam tiga pemungutan suara di PBB pada Senin (24/2/2025), yang bertujuan mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga tahun.
Baca Juga
Perbedaan yang semakin besar ini muncul setelah Trump memutuskan membuka negosiasi langsung dengan Rusia guna mengakhiri perang. Keputusan tersebut mengecewakan Ukraina dan sekutu Eropa karena mereka tidak dilibatkan dalam pembicaraan awal minggu lalu.
Advertisement
Di Majelis Umum PBB, AS bergabung dengan Rusia untuk memberikan suara menentang resolusi yang diajukan Eropa yang mengecam agresi Rusia dan meminta penarikan segera pasukan Rusia.
AS kemudian memilih abstain dalam pemungutan suara terhadap resolusi tandingannya sendiri setelah Prancis dan negara-negara Eropa berhasil mengubahnya dengan menegaskan Rusia sebagai agresor. Pemungutan suara ini dilakukan pada peringatan tiga tahun invasi Rusia ke Ukraina, sementara Trump menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Washington.
Resolusi di Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, namun sering kali mencerminkan pendapat dunia.
AS kemudian mendorong pemungutan suara atas rancangan resolusinya di Dewan Keamanan PBB, yang mengikat secara hukum. Hasil pemungutan suara di dewan yang terdiri dari 15 negara ini adalah 10-0, dengan lima negara Eropa memilih abstain, yakni Inggris, Prancis, Denmark, Yunani, dan Slovenia.
"Draf resolusi kami hadir dengan kesederhanaan yang elegan. Sebuah langkah awal simbolis dan sederhana untuk mencapai perdamaian. Tiga paragraf singkat ini mencerminkan semangat Piagam PBB dan, seperti pada tahun 1945, harus menyatakan dengan tegas bahwa perang ini mengerikan, bahwa PBB dapat berperan mengakhirinya, dan bahwa perdamaian adalah hal yang mungkin terwujud," demikian disampaikan Wakil Duta Besar AS untuk PBB Dorothy Shea seperti dikutip dari situs resmi misi AS untuk PBB, Selasa (25/2).
Resolusi yang saling bertentangan ini mencerminkan ketegangan antara AS dan Ukraina. Trump semakin memperburuk hubungan dengan menyebut Volodymyr Zelenskyy sebagai "diktator" karena tidak mengadakan pemilu di masa perang, saat sebagian besar Ukraina diduduki Rusia dan negara tersebut berada dalam keadaan darurat militer.
Trump menyatakan pula Ukraina yang memulai perang dan dia memperingatkan Zelenskyy untuk cepat merundingkan penghentian konflik atau berisiko kehilangan negara. Zelenskyy merespons dengan menyebut Trump hidup dalam "ruang disinformasi buatan Rusia."
Majelis Umum PBB akhirnya memberikan suara 93-18 dengan 65 abstain untuk menyetujui resolusi Ukraina. Hasil ini menunjukkan dukungan yang sedikit berkurang bagi Ukraina karena dalam pemungutan suara sebelumnya ada lebih dari 140 negara mengecam agresi Rusia dan menuntut penarikan segera pasukan Rusia.
Kemudian Majelis Umum PBB beralih ke resolusi yang diajukan AS, yang mengakui "kehancuran tragis sepanjang konflik Rusia-Ukraina" dan "mendesak pengakhiran yang cepat dari konflik ini dan lebih jauh mendorong perdamaian yang langgeng antara Ukraina dan Rusia", namun tidak pernah menyebutkan agresi Rusia.
Dalam langkah yang mengejutkan, Prancis mengusulkan tiga amandemen, yang menambahkan bahwa konflik ini merupakan hasil dari "invasi besar-besaran terhadap Ukraina oleh Federasi Rusia." Amandemen menegaskan kembali komitmen Majelis Umum PBB terhadap kedaulatan, kemerdekaan, kesatuan, dan integritas teritorial Ukraina, serta menyerukan perdamaian yang menghormati Piagam PBB.
Rusia juga mengusulkan amandemen yang menyerukan agar "akar penyebab" konflik ini diatasi.
Semua amandemen disetujui dan resolusi akhirnya disahkan dengan suara 93-8 dengan 73 abstain, dengan Ukraina memberikan suara "ya", AS abstain, dan Rusia memberikan suara "tidak".
Kedua resolusi Majelis Umum PBB tersebut didukung oleh sekutu-sekutu AS di Asia, termasuk Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, serta negara tetangga Kanada dan Meksiko, serta negara-negara Eropa, dengan pengecualian Hongaria.
Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina Mariana Betsa mengatakan bahwa negaranya sedang menjalankan "hak bawaan untuk membela diri" setelah invasi Rusia, yang melanggar kewajiban Piagam PBB bagi negara-negara untuk menghormati kedaulatan dan integritas teritorial negara lain.
"Ketika kita memperingati tiga tahun kehancuran ini — invasi penuh Rusia terhadap Ukraina — kami menyerukan kepada semua negara untuk tetap teguh, mendukung Piagam PBB, kemanusiaan, dan perdamaian yang adil dan langgeng, yaitu perdamaian melalui kekuatan," ujarnya seperti dilansir AP.
Trump juga sering menyatakan komitmennya untuk mencapai "perdamaian melalui kekuatan".
Alasan di Balik Sikap Berbeda AS
Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward memperingatkan Dewan Keamanan PBB, "Jika Rusia diizinkan menang, kita akan hidup di dunia di mana yang kuat yang benar, di mana batas-batas dapat digambar ulang dengan kekerasan, di mana agresor berpikir mereka dapat bertindak tanpa hukuman."
Deputi Menteri Luar Negeri Denmark Lotte Machon menekankan bahwa dalam negosiasi perdamaian, "Tidak ada tentang Ukraina tanpa Ukraina, tidak ada tentang keamanan Eropa tanpa Eropa."
Sementara itu, Shea mengatakan bahwa banyak resolusi PBB sebelumnya yang mengutuk Rusia dan menuntut penarikan pasukan Rusia telah gagal menghentikan perang, yang telah berlangsung terlalu lama dan dengan biaya yang sangat besar bagi rakyat Ukraina dan Rusia.
"Apa yang kita butuhkan adalah resolusi yang menegaskan komitmen dari semua negara anggota PBB untuk membawa perang ini ke akhir yang tahan lama," kata Shea sebelum pemungutan suara.
Di Dewan Keamanan PBB, Rusia menggunakan hak vetonya untuk mencegah amandemen Eropa terhadap resolusi AS, yang meskipun mengikat secara hukum namun pada dasarnya tidak berdaya. Paragraf operatif satu-satunya menyerukan agar konflik segera diakhiri dan lebih lanjut mendorong terciptanya perdamaian yang abadi antara Ukraina dan Rusia.
Karena Dewan Keamanan PBB terhambat oleh hak veto Rusia, Majelis Umum PBB kini menjadi lembaga yang paling berpengaruh dalam menangani masalah Ukraina. Sejak invasi Rusia pada 24 Februari 2022, Majelis Umum PBB telah mengesahkan enam resolusi yang berkaitan dengan Ukraina.
Resolusi Ukraina yang disetujui pada Senin mengingatkan perlunya implementasi resolusi-resolusi sebelumnya, dengan menekankan tuntutan agar Rusia segera, sepenuhnya dan tanpa syarat menarik semua pasukannya dari wilayah Ukraina. Resolusi tersebut menegaskan kembali komitmen Majelis Umum PBB terhadap kedaulatan Ukraina dan juga bahwa tidak ada akuisisi teritorial yang dihasilkan dari ancaman atau penggunaan kekerasan yang akan diakui sebagai sah.
Selain itu, resolusi menyerukan "de-eskalasi, penghentian permusuhan sesegera mungkin, dan penyelesaian damai atas perang melawan Ukraina", serta menegaskan kembali "kebutuhan mendesak untuk mengakhiri perang tahun ini."
Â
Advertisement
