Liputan6.com, Seoul - Kabinet Korea Selatan diperkirakan akan menetapkan tanggal 3 Juni untuk pemilihan presiden pemecatan Yoon Suk Yeol minggu lalu karena penerapan darurat militer yang berumur pendek, Kantor Berita Yonhap melaporkan pada Senin (7/4/2025) seperti dikutip dari AFP.
Meskipun tidak diharuskan oleh hukum, Kabinet akan membuat keputusan pada rapat tanggal 8 April, karena perlu menyetujui hari libur untuk acara tersebut, Yonhap mengutip pernyataan seorang pejabat pemerintah yang tidak disebutkan namanya.
Baca Juga
Yoon Suk Yeol diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan telah melanggar tugas resminya dengan mengeluarkan dekret darurat militer pada tanggal 3 Desember dan memobilisasi pasukan untuk menghentikan proses parlemen.Undang-undang mengharuskan pemilihan presiden baru dalam waktu 60 hari jika petahana meninggal dunia atau diberhentikan dari jabatannya.
Advertisement
Seorang pejabat Komisi Pemilihan Umum Nasional mengatakan tanggal yang disebutkan dalam laporan media belum final dan baru resmi sampai diumumkan oleh Penjabat Presiden Han Duck-soo.
Sebelumnya, ribuan pendukung mantan presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, turun ke jalanan ibu kota Seoul pada Sabtu (5/4) sebagai bentuk protes atas pemakzulan dirinya sehari sebelumnya. Aksi ini menjadi puncak dari ketegangan politik yang telah berlangsung berbulan-bulan di negara tersebut.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada Jumat (4/4) secara bulat memutuskan untuk mencopot Yoon dari jabatannya karena dinilai berusaha menggulingkan pemerintahan sipil melalui deklarasi darurat militer pada 3 Desember lalu. Keputusan tersebut membuka jalan bagi pemilu presiden baru yang dijadwalkan berlangsung sebelum Juni.
Dengan pemilu yang akan segera digelar, pemimpin oposisi Lee Jae-myung diprediksi menjadi kandidat terkuat. Partainya dikenal mengambil pendekatan lebih damai terhadap Korea Utara, berbeda dengan kebijakan keras Yoon selama masa jabatannya.
Kondisi ini membuat sebagian pendukung Yoon merasa cemas.
"Saya merasa Korea Selatan sudah selesai," kata Park Jong-hwan (59), salah satu peserta aksi.
"Negara ini seperti sudah berubah menjadi negara sosialis, bahkan komunis."