Liputan6.com, Jakarta Penanganan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Anak Dalam (SAD) mesti mempertimbangkan aspek kearifan lokal. Sebab, mereka memiliki adat istiadat, tradisi, serta cara pandang sendiri.
“Penanganan SAD perlu mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat setempat, ” kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam kunjungan kerja di Jambi, Jumat (13/3/2015).
Selain itu, penanganan SAD perlu memperhatikan hasil kajian yang dilakukan lintas lembaga ataupun kementerian terkait. Mereka mesti mulai diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bisa terbuka interaksi sosial.
Advertisement
“Langkah awal penanganan, agar mereka terbuka perlu interkasi sosial dan diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya, ” tandasnya.
Seperti diberitakan kemarin, Kemensos akan menindaklanjuti tawaran Hunian Tetap (Huntap). UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Adat, bisa diusulkan dengan pemberikan desa adat kepada warga SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi.
“Hasil koodinasi dengan pihak terkait, intervensi pemerintah terkait tewasanya 11 warga SAD harus lintas sektor, sehingga bisa lebih komprehensif dan tentunya peran negara bisa hadir di tengah-tengah mereka,” tandasnya.
Peran lintas sektor tersebut, yaitu dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Agraria, Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pendidikan dan sebagainya.
“Dengan kerja ‘keroyokan’ itu diharapkan penanganan SAD bisa mendapatkan solusi yang terbaik dan mereka bisa mendapatkan hak-hak normatf sebagai warga negara, ” ujarnya.
Saat ini, SAD berjumlah 1.775 jiwa dan 13 tumenggung atau kelompok warga terdiri dari 20 sampai 30 Kepala keluarga (KK). Segera dikaji untuk direkomendasikan menjadi desa adat di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Kemudian, jika warga SAD mau menjadikan kawasan itu sebagai desa adat akan mendapatkan hak-hak administratif dan berbagai program perlindungan sosial, seperi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indoesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), serta beras raskin (Raskin).
“Kami tetap menghormati adat dan apapun keputusan warga SAD untuk pembangunan fasilitas, seperti rumah, sehingga terlebih dahulu dilakukan pendekatan, ” tandasnya.
Intervensi pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi warga SAD, tetap memperhatikan budaya dan adat setempat yang akan ditingkatkan dan diintegrasikan dengan berbagai pihak terkait lainnya.
Terkait tewasnya 11 warga SAD dari kelompok Temenggung Maritua, salah satunya disebabkan kelaparan karena mereka masuk dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) dan tradisi melangun.
“Dalam tradisi dan adat warga SAD, dikenal istilah melangun atau pergi meninggalkan kawasan tinggal mereka, karena ada keluarga dan sanak saudaranya yang meninggal dunia, ” katanya.
Selanjutnya, Kemensos akan mengkoordiansikan dengan pihak terkait lainnya termasuk PT Wana Printis agar bisa secepatnya menyerahkan lahan kepada warga SAD yang mengakui, bahwa lahan tersebut milik nenek moyang mereka yang saat ini menjadi HTI.
“Tidak hanya itu, mereka akan diberdayakan untuk mengawak kawasan hutan Taman Nasional Bukti Duabelas dengan memberikan dukungan peningkatan sumber daya manusia, ” katanya.
Pemerintah Provinsi Jambi mencatat, ada tujuh perusahaan memiliki HTI, yaitu PT Wana Printis, Agro Nusa Alam Sejahterta, Jebus Maju, Tebo Multi Agro, Lestari Asri Jaya, Malaka Agro Perkara dan Alam Lestari Makmur untuk menyerahkan lima persen lahan kepada warga termasuk SAD.
Kemensos memberikan paket bantuan kepada 166 KK, berupa kopi, gula pasir, sarden ikan, garam halus, teh, rokok, dan senter, termasuk santunan 11 warga tewas masing-masing Rp 5 juta. Ditambah bantuan dari PSAA Alyatama sebanyak 20 karung beras, isi 1 karung 10 kg, dan 25 kardus mie instan.