Liputan6.com, Jakarta Ahli penyakit dalam dan konsultan endokrin dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Tri Juli Edi Tarigan SpPD-KEMD FINASIM mengatakan penderita diabetes melitus (DM) perlu secara rutin mengecek gula darahnya.
"Salah satu aspek dari pilar pengelolaan diabetes melitus yang sangat penting adalah masalah pemantauan gula darah agar selalu berada dalam target yang diinginkan," ujar Tri dalam acara seminar di Jakarta, Selasa.
Pemantauan gula darah tersebut dapat dilakukan pasien secara mandiri, sehingga data yang sudah terkumpul dapat membantu dokter untuk menyesuaikan terapi.
Advertisement
Dokter dan pasien juga perlu dibekali tentang pemantauan gula darah dan bagaimana mempraktikannya sehari-hari.
"Saat ini, pengecekan gula darah dapat dilakukan secara mandiri, lebih mudah dan lebih nyaman," jelas dia.
Dia melanjutkan, bagi kebanyakan pasien, penyakit diabetes tidak mengganggu kenyamanan hidup hingga akhirnya muncul komplikasi.
Komplikasi tersebut menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi pasien baik secara fisik maupun mental antara lain menimbulkan serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, impotensi.
Selain itu juga menyebabkan gangguan sirkulasi darah dan sistem saraf. "Sehingga bisa menimbulkan amputasi pada kaki yang terluka," papar dia.
Dokter yang akrab disapa dokter TJ itu menambahkan diabetes melitus dikenal sebagai ibu dari banyak penyakit degeneratif.
Kerusakan organ-organ penting tersebut akibat gula darah yang terus tinggi berkepanjangan sehingga merusak dinding pembuluh darah kecil (mikrovaskular) maupun pembuluh darah besar (makrovaskular).
Kerusakan pada dinding pembuluh darah tersebut mengakibatkan penyempitan dan sekaligus kehilangan fungsi utama dari organ tersebut.
"Agar tidak terjadi bencana, maka perlu pencegahan sekaligus pengelolaan diabetes melitus secara komprehensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan," kata dia.
Tingkat prevalensi diabetes di Tanah Air cukup tinggi. Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi diabetes 5,7 persen dan pre-diabetes 10,2 persen.
Sebanyak 13 provinsi memiliki angka prevalensi lebih tinggi dari prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara.