Liputan6.com, New York - Sudah sejak dulu, ketika masih dikenal dengan ‘sosiobiologi’, psikologi evolusioner telah berkutat pada teori bahwa wanita bersifat monogami, sedangkan pria gemar menyeleweng.
Ya, pria tergerak untuk menyebarkan benihnya, sedangkan wanita secara naluriah ingin mengunci seorang pria untuk membesarkan anak-anaknya.
Kaum feminis berusaha menciptakan kesetaraan seksual antara pria dan wanita, tapi gagal karena karena mereka bertentangan dengan biologi.
Advertisement
Namun, ketika dikutip hari Jumat (29/1/2016) dari tulisan lawas dalam Slate, ada sejumlah bukti bahwa kaum wanitalah yang lebih cepat merasa bosan dengan monogami.
Baca Juga
Daniel Bergner yang menulis di New York Times mengatakan wanita jauh lebih cepat merasa kehilangan ketertarikan dalam seks dengan pasangannya. Ini bukan berarti penyelewengan. Namun menurut Bergner, wanita yang muak dengan pasangannya kerap menghindari seks secara keseluruhan.
Sejumlah penelitian yang dirujuk oleh Bergner menunjukkan bahwa kaum wanita memberi tanggapan kepada hal-hal baru dalam khayalan seksual. Dan penelitian lain menunjukkan bahwa kaum wanita lebih terangsang dengan khayalan melakukan seks dengan orang tak dikenal daripada dengan teman.
Yang paling menarik di sini adalah pergeseran pengertian ini mendatangkan pergeseran besar dalam cara kita sebagai masyarakat menanggapinya.
Kita tidak bisa lagi sekedar menangkat bahu atau menyebut ‘dari sananya’ untuk menjelaskan kekecewaan harapan wanita kepada pria terkait dengan seks yang monogami.
Sebaliknya, seperti ditulis Bergner, sudah banyak uang dihamburkan untuk mengembangkan obat bagi kaum wanita untuk mengembalikan gairah kepada suaminya, semisal obat bernama Lybrido.
Bergner juga menengarai bahwa hilangnya ketertarikan wanita kepada seks monogami merupakan pengaruh sosial, bukan biologis. Wanita bertubi-tubi menerima pesan bahwa “gairah dan ekspresi seksual tidak melulu positif”.
Dengan demikian, kaum wanita cenderung mencari rangsangan tambahan—misalnya hal-hal baru—untuk mengambalikan mood mereka.
Hasilnya? Jika kita memandang normal gairah wanita di masyarakat luas, kita sepertinya bisa menganjurkan kaum wanita untuk melanjutkan gairah kepada pasangan mereka.
Ketika orang yakin bahwa kebosanan dengan monogami sebagai sifat kaum lelaki yang harus diterima kaum wanita, tidak banyak yang tertarik untuk membenahinya.
Sekarang kita memahami bahwa kebosanan dengan monogami merupakan sifat kaum wanita yang harus diderita kaum pria, mendadak muncullah masalah—untungnya, dengan sejumlah kemungkinan jalan keluar.
Kebanyakan dari kita bersifat monogami, jadi inilah waktunya menanggap penting keperluan untuk membuatnya tetap menarik.