Liputan6.com, Jakarta Pada penghujung 2016 ini bermunculan tragedi kekerasan anak di sekolah di berbagai wilayah di Indonesia. Siswa ditusuk temannya sampai meninggal (Bantul, Yogyakarta), orang secara brutal menyerang delapan murid SD kelas V dan kelas VI SD (Nusa Tenggara Timur), guru menganiaya mata siswa dengan pulpen (Gowa, Sulsel), orangtua murid menganiaya guru hingga bercucuran darah (Makassar, Sulsel), tawuran siswa SD yang melibatkan 3 sekolah (Semarang), dan masih banyak yang lainnya.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia meminta pemerintah untuk lebih tanggap terhadap terhadap aksi kekerasan di sekolah.
Baca Juga
Menurut siaran pers JPPI yang diterima Liputan6.com, tren kekerasan dan modus-modusnya kian beragam. Berdasarkan pantauan mereka, setidaknya ada enam modus kekerasan utama yang terus terulang di lingkungan sekolah: penganiayaan guru kepada siswa, penganiayaan siswa kepada guru, penganiayaan siswa kepada siswa, penganiayaan wali murid kepada guru, pelecehan seksual, dan tawuran antarsekolah.
Advertisement
Fakta ini membenarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Plan International dan International Center for Research on Women yang dirilis tahun 2015. Data ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70 persen. Bahkan, berdasarkan perhitungan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sedikitnya ada 1800 anak korban kekerasan tiap tahunnya di Indonesia.
Jika pemerintah tidak serius menangani, masalah ini akan merembet ke masalah lain. JPPI berharap pemerintah lebih serius menegakkan instrumen hukum berupa sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
JPPI menganggap, perangkat hukum ini masih terbentur beragam kendala seperti kurangnya komitmen pemerintah dan juga pihak sekolah. Penerapan yang belum optimal ini membuat anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi dan terpapar ancaman kekerasan anak di lingkungan pendidikan.