Darah Komodo Bisa Jadi Kunci Lawan Resistensi Antibiotik

Temuan para peneliti itu memberi harapan bagi terciptanya jenis antibiotik baru untuk mengatasi masalah bakteri resistensi antibiotik.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 17 Apr 2017, 13:30 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2017, 13:30 WIB
Komodo
Temuan para peneliti itu memberi harapan bagi terciptanya jenis antibiotik baru untuk mengatasi masalah bakteri resistensi antibiotik.

Liputan6.com, Jakarta Penyakit yang disebabkan oleh bakteri--seperti misalnya infeksi--bisa diatasi dengan obatan-obatan antibiotik. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat--baik kurang atau berlebih--bisa menyebabkan seseorang mengalami resistensi terhadap obat tersebut.

"Akibatnya bila suatu hari ia mengalami infeksi tak ada lagi antibiotik yang bisa melawan, sehingga ia tidak bisa ditolong lagi," Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba dari Kemenkes RI, dr Harry Parathon, SpOG (K) beberapa waktu lalu.

Saat ini diperkirakan sekitar 135 ribu orang meninggal per tahun di Indonesia akibat bakteri resisten. Tak hanya berdampak pada hilangnya nyawa, resistensi antibiotik pun berdampak besar pada perekonomian karena biaya perawatan bagi individu yang telah resisten luar biasa besar.

Kondisi resistensi antibiotik tak hanya dialami oleh Indonesia, negara lain seperti Amerika Serikat pun turut mengalaminya. Medical News Today menulis, setiap tahun, lebih dari 23 ribu orang di AS meninggal akibat infeksi resisten antibiotik. Bahkan menurut Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara, Dr Poonam Khetrapal Singh, seorang anak meninggal karena resistensi bakteri berbahaya setiap lima menit di kawasan Asia Tenggara.

Kondisi ini memicu para peneliti untuk segera menemukan solusi. Kabar baiknya, kunci untuk permasalahan tersebut kemungkinan besar ada di Indonesia, tepatnya pada hewan khas tanah air yakni komodo.

Studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari George Mason University menemukan bahwa senyawa sintetis yang mereka ciptakan berdasarkan satu molekul darah komodo menunjukkan hasil yang sangat positif pada penyembuhan luka. Menurut studi yang dimuat dalam NPJ Biofilms and Microbiomes ini, senyawa sintetis tersebut bisa menyembuhkan luka pada tikus dengan cepat.

Mengutip laman Observer, Senin (17/4/2017), temuan para peneliti itu memberi harapan bagi terciptanya jenis antibiotik baru untuk mengatasi masalah bakteri resistensi antibiotik.

Komodo merupakan jenis kadal raksasa yang bisa ditemukan di lima pulau di Indonesia, Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Padar. Kadal raksasa ini menyimpan 80 bakteri beracun pada mulutnya yang digunakan untuk membunuh mangsa. Beberapa bakteri tersebut bisa menyebabkan sepsis serta keracunan darah. Uniknya, komodo kebal terhadap bakteri yang bersarang di mulutnya.

Peneliti menemukan, kekebalan tubuh komodo berasal dari peptida dalam darah mereka yang disebut VK25. Mengutup laman Medical News Today, peneliti kemudian menyusun ulang dua asam amino yang terdapat pada VK25 agar lebih efektif. Inilah yang kemudian dikembangkan menjadi versi sintetis baru dari peptida komodo yang dinamai DRGN-1.

"Peptida sintetis DRGN-1 bukanlah peptida alami komodo, melainkan telah diubah menjadi lebih kuat potensi dan kestabilannya," ujar rekan penulis penelitian, Monique van Hoek dari School of Systems Biology, George Mason University.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya