Liputan6.com, Jakarta Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan tidak ada pelarangan iklan rokok pada Rancangan Revisi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan atau disharmoni dengan empat undang-undang sebelumnya.
"Padahal, DPR sebagai lembaga yang membuat undang-undang, harus melakukan sinkronisasi dan harmonisasi agar tidak ada undang-undang yang saling bertentangan," katanya dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin.
Baca Juga
Menurut Tulus, setidaknya diperbolehkan iklan rokok pada RUU Penyiaran bertentangan dengan empat undang-undang, yaitu Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Advertisement
Tulus mengatakan UU Cukai mengatur setiap produk yang menimbulkan efek negatif harus dikenai cukai dan dikendalikan konsumsinya. Salah satu barang kena cukai adalah tembakau dan cara mengendalikan dengan tidak mengiklankannya.
"Sedangkan, Undang Undang Perlindungan Konsumen mengatur barang yang dikonsumsi harus standar. Rokok adalah produk yang tidak layak konsumsi. Tidak ada kedaluwarsa dan komposisi yang jelas," ujarnya.
UU Kesehatan, menurut dia, juga secara jelas menyatakan tembakau sebagai produk adiktif, sehingga seharusnya tidak boleh diiklankan.
"Sedangkan, Undang Undang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan anak-anak tidak boleh terpapar zat adiktif, termasuk lewat iklan," katanya.
Kalau pun industri tembakau berdalih bahwa iklan produk mereka bukan ditujukan kepada anak-anak, Tulus menilai itu merupakan hal yang omong kosong, sebab jelas iklan rokok yang beredar di berbagai media menyasar anak-anak dan remaja untuk menjadi perokok-perokok baru yang diharapkan menjadi pengganti perokok-perokok tua.
"Sebenarnya mereka tidak perlu beriklan karena produk mereka membuat kecanduan. Pecandu rokok tidak perlu melihat iklan untuk membeli rokok. Iklan jelas untuk menyasar calon perokok-perokok baru," demikian pendapat Tulus Abadi. (Dewanto Samodro/Antara News)