Liputan6.com, Jakarta Orang dengan kondisi apa pun berhak mendapatkan pendidikan. Tak Terkecuali dengan Tio Tegar Wicaksono, mahasiswa tunanetra Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan 2016.
Awal ketertarikannya mempelajari ilmu hukum cukup unik. Pria 21 tahun ini mengikuti sebuah kompetisi di Mahkamah Konstitusi. Ajang tersebut membuatnya banyak tahu isu-isu disabilitas dan terdorong memperjuangkan hak-hak kaum difabel.
Baca Juga
"Sejak itu saya tertarik belajar hukum. Ternyata kemudian saya menemukan banyak hal yang perlu diperbaiki di bidang hukum," jawabnya saat ditemui brilio.net, Rabu (28/2).
Advertisement
Ketertarikannya di isu disabilitas ternyata tak hanya membuatnya mengambil jurusan hukum. Tio ikut aktif menyuarakan hak-hak kaum difabel menikmati fasilitas sama dengan orang lainnya. Aksi nyata itu salah satunya disalurkan lewat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel.
"Sejauh ini perjuangan saya tempuh untuk hal-hal difabel cukup banyak, seperti mengkritisi kebijakan, meninjau bagaimana fasilitas yang disediakan. Ya memastikan juga teman-teman difabel di sini sudah mendapatan hak-haknya," jawabnya dengan perasaan semangat.
Di Universitas Gadjah Mada memang sudah ada UKM Peduli Difabel. Kegiatan UKM ini memberikan dampak positif bagi penyandang difabel. Salah satunya memberikan kemudahan kaum difabel termasuk tunanetra yang ikut seleksi masuk UGM.
Saksikan juga video menarik berikut:
Jago Manfaatkan Teknologi
Sebagai tunanetra, selama kuliah, banyak suka duka yang dialaminya. Setiap hari dirinya harus jalan kaki 20 menit ke kampus dari rumah kos.
Kesulitan belajar, memahami materi kuliah yang diberikan dosen, hingga minimnya bahan-bahan penunjang pelajaran bagi difabel menjadi tantangan tersendiri. "Kendala belajar sejauh ini, ya literatur pasti, karena buku ataupun bahan yang diakses masih terbatas dan itu jadi hambatan," terangnya.
Meski mengalami kesulitan akses bahan penunjang belajar, pemuda asal Magelang ini tak patah semangat mencari solusi.
"Sejauh ini aku akan coba akses literatur yang bisa aku akses. Literatur teks sebenarnya bisa aku akses, cuma prosesnya memang agak sulit, harus aku scan, jadi file, baru bisa aku baca. Ibaratnya harus kerja keras dulu baru bisa saya baca, emang upayanya memang lebih keras dari teman-teman lain," jelas laki-laki kelahiran Magelang, 6 Januari 1997 tersebut.
Advertisement
Keterbatasan Bukan Halangan
Bagi Tio, keterbatasan tak menjadi halangan mengejar cita-cita. Dia memanfaatkan teknologi sebaik mungkin sebagai jawaban kesulitan yang dihadapinya.
"Boleh dibilang saya ketergantungan dengan teknologi saat ini, dimulai dari akses literatur, mengerjakan tugas menggunakan teknologi," ujarnya.
Lebih lanjut, Tio mengaku masih banyak orang yang salah kaprah mengenai tunanetra dalam menggunakan teknologi. Padahal, banyak fitur teknologi yang tersedia untuk membantu penyandang tunanetra seperti dirinya.
"Cara aksesnya (smartphone dan laptop) juga sama kayak orang pada umumnya. Cuma kalau untuk tunanetra nanti akan dilengkapi dengan screen reader (pembaca layar)," jelas mahasiswa 21 tahun.
Dukungan dari tenaga pengajar di UGM, kata Tio, juga meringankan beban belajarnya. Para dosen memahami mahasiswanya dari kaum difabel.
"Misalnya ada kuis di kelas. Saya bilang ke dosennya, Pak, Bu, kuisnya nanti saya ketik ya, nanti saya kirim email, selesai masalah," imbuhnya.
Dukungan Teman-Teman
Bagi Tio, dukungan teman-teman di sekitarnya juga sangat penting. Sejauh ini lingkungannya memberikan banyak bantuan dalam proses belajar. Hal ini ditunjukkan saat ia mengalami kesulitan memahami isi Power Point, temannya memberikan bantuan membacakan dan menjelaskan ulang.
Saat mengalami kesulitan memahami pelajaran, Tio juga belajar bersama teman-temannya. Setidaknya peran lingkungannya juga besar dalam membantunya menggapai cita-cita.
Penulis: Hira Hilary Aragon
Sumber: brilio.net
Advertisement