Anak SD Menghamili Siswi SMP, Seberapa Siap Tubuh Remaja untuk Hamil?

Kehamilan di usia remaja timbulkan banyak risiko, baik bagi bayi atau remaja tersebut.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 26 Mei 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 12:00 WIB
Ilustrasi remaja hamil (iStock)
Ilustrasi remaja hamil (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Kehamilan siswi SMP (13) asal Tulungagung, Jawa Timur usai melakukan hubungan intim dengan siswa SD, menambah daftar angka kehamilan remaja di Indonesia. Padahal saat usia remaja, tubuh masih tumbuh.

Ketua Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia Bernie Endyarni Medise mengatakan ada banyak risiko pada kehamilan remaja. Karena sesungguhnya remaja masih mengalami pertumbuhan, termasuk organ reproduksi, sampai setidaknya di usia 18 tahun.

"Jadi, sebenarnya pada saat remaja perempuan 13 tahun itu payudaranya belum tumbuh seperti orang dewasa, rahimnya juga belum seperti orang dewasa. Jadi, kalau dia hamil, bayangkan, kandungannya belum siap untuk mengandung anak, payudaranya belum terbentuk untuk menyusui," papar Bernie saat dihubungi Health-Liputan6.com ditulis Sabtu (26/5/2018).

Kehamilan di usia remaja juga menyebabkan abortus spontan atau keguguran di trimester pertama. Selain itu, risiko janin dalam kandungan lahir sebelum waktunya alias prematur juga tinggi.

Kehamilan di usia remaja juga berdampak pada aspek kehidupan yang lain. Seorang anak yang seharusnya masih fokus menggapai ilmu lewat sekolah harus mengurus kehamilan dan anak.

"Secara edukasi, itu mengalami kerugian," pendapat Bernie.

Belum lagi dengan aspek mental, bisa jadi ada rasa malu dengan kondisinya. Sehingga dia membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak untuk bisa melewati ini semua.

 

Saksikan juga video menarik berikut:

 

 

Seks edukasi sejak dini penting

Ilustrasi keluarga
Mengajarkan Anak Ilmu Pengetahuan Juga Bisa Melalui Kegiatan yang Seru dan Menyenangkan

Guna mencegah kehamilan di usia remaja, Bernie, menyarankan kepada orangtua untuk memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi atau sex education sejak dini.

"Berikan informasi sesuai dengan tingkat usianya. Misalnya saat masih kecil (balita) sudah diberitahu bahwa ada laki-laki dan perempuan. Lalu, saat sudah agak besar, beritahu apa bedanya antara laki-laki dan perempuan," katanya.

Lalu, jelang anak laki-laki dan perempuan pubertas, sebaiknya orangtua sudah memberitahu tanggung jawab apa saja terhadap kesehatan diri sendiri.

"Misalnya saat anak laki-laki mulai pubertas, beri tahu dia bahwa, 'Sebentar lagi kamu sudah mulai ada perubahan. Sudah ada bulu-bulu halus tumbuh, mimpi basah, itu berarti kamu sudah besar, sudah menghasilkan sperma'," contoh Bernie.

"Beri tahu anak untuk berhati-hati menjaga diri, menghormati teman perempuannya, menjaga kebersihan tubuh, dan lebih dekat dengan Tuhan."

Pastikan juga, sebelum orangtua mendiskusikan hal ini ke anak, sudah punya bekal cukup. Jika, informasi yang diberikan orangtua masih dirasa kurang, bisa ke puskesmas terdekat untuk minta dijelaskan oleh petugas kesehatan yang kompeten.

"Di puskesmas ada PKPR --Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja-- jadi ajak anak ke sana. Ada petugas yang bisa menjawab pertanyaan anak," tutur wanita yang juga beraktivitas di Departemnen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta ini. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya