Liputan6.com, Jakarta Ada sebagian orang yang tak suka Hari Raya. Ada beberapa alasan dibalik tidak menyukai Hari Raya seperti, kita terpaksa bertemu anggota keluarga yang tidak disukai atau kita harus pura-pura tersenyum seharian padahal sedang tak bahagia.
Hari Raya juga merupakan hari di mana ragam jenis pertanyaan “kapan?” menghantui kita. Kapan lulus, kapan wisuda, kapan kerja, kapan nikah, kapan punya anak dan serangkaian “kapan” lainnya. Seolah hidup hanya untuk memuaskan telinga keluarga besar. Kebiasaan keluarga besar yang saling memamerkan prestasi anak-anaknya membuat kita geram, membuat kita merasa seperti piala yang bisa dibanding-bandingkan.
Baca Juga
Tak mengejutkan ketika sebuah penelitian menemukan bahwa semakin banyak orang yang depresi menjelang Hari Raya. Alasannya adalah saat Hari Raya, kita harus kehilangan rutinitas dan kembali kepada realita.
Advertisement
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Sadari Bahwa Perayaan Hari Raya Hanyalah Beberapa Hari
Hari Raya tak selamanya. Hari Raya hanyalah beberapa hari dari sekian banyak hari saat kita bebas sendiri. Kegelisahan kita menghadapi Hari Raya sangatlah wajar. Namun, jangan sampai kita menghabiskan dua minggu sebelum Hari Raya dengan kegelisahan dan seminggu setelahnya dengan kekesalan.
Hadapi Hari Raya sebagaimana kita menghadapi ujian: persiapkan mental kita untuk bertemu keluarga, hadapi ujian tersebut dan tidak perlu dipikirkan lagi sesudahnya.
Saksikan juga video menarik berikut:
Belajar “Bodo Amat”
Sarah Knight, penulis buku The Life Changing Magic of Not Giving a F*ck, mengatakan bahwa kita harus bisa belajar “bodo amat”. Salah satu tips yang ia berikan adalah bersikap “bodo amat” dengan cara sopan dan jujur.
Bantu yang perlu kita bantu dalam rangka mempersiapkan acara keluarga. Temui yang perlu kita temui. Bicara dan sapa keluarga besar kita seperlunya. Sesudah itu, kembalilah mengerjakan hal-hal yang ingin kamu kerjakan.
Membaca buku, main sama keponakan, jogging, update social media, merajut, menulis buku harian dan aktivitas lainnya yang menyenangkan bagi diri kita. Terkadang ‘egoisme’ seperti ini dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental kita.
Self-Care
Salah satu penyebab ketidakbahagiaan saat hari raya adalah karena kita kekurangan waktu untuk melakukan self-care atau memperhatikan diri sendiri. Meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal baik untuk diri sendiri amatlah penting.
Belajar “bodo amat” adalah mengenai mentalitas kita, akan tetapi diperlukan suatu aktivitas yang dapat membantu recharge kembali energi kita. Pilihlah satu atau dua aktivitas di pagi dan di malam hari yang dapat kamu lakukan agar mood kembali positif lagi setelah kewalahan berinteraksi dengan keluarga besar.
Advertisement
Hidup Bukanlah Suatu Perbandingan
Tanpa perlu dibanding-dibandingkan, kita sudah menyadari bahwa kita selalu menganggap hidup orang lain lebih indah daripada kita. Bisa jadi, momen hari raya adalah hari yang tepat agar kita bisa refleksi bahwa hidup kita bukan untuk dibandingkan.
Ketika kita berada di titik puncak kejenuhan karena selalu membandingkan diri dengan orang lain dan juga selalu dibanding-bandingkan, mungkin inilah saat yang tepat agar kita terjun bebas dan benar-benar mensyukuri apa yang kita punya.
Be Here and Now
Nasihat ini terdengar klise, akan tetapi hidup di present moment atau momen saat ini menjadi keahlian yang penting untuk orang-orang yang mudah cemas dan marah. Dibandingkan menghabiskan waktu kita untuk cemas sebelum bertemu keluarga besar, ada baiknya kita hidup di masa kini secara utuh.
Nikmati hidup kita di momen saat ini, karena hanya itulah resep bahagia. Sesekali memikirkan cara menjawab dan berinteraksi dengan keluarga besar tidak apa-apa, namun jika terlarut terus-menerus, hal itu akan merusak kebahagiaan kita di saat ini.
***
Tidak semua orang beruntung memiliki keluarga yang harmonis dan hangat. Tidak semua orang bahagia saat lebaran, dan hal ini adalah sesuatu yang bisa dibicarakan. Kita tak perlu malu atau merasa bersalah untuk menceritakan perasaan kita saat hari raya, kepada yang kita percaya. Merasa berbeda tidak perlu menjadi beban. Justru itu cara semesta memperindah kehidupan.
Tulisan Regis Machdy dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com