Mengenal Asal-Usul THR: Tradisi, dan Aturannya di Indonesia

Sejarah, aturan, pengawasan, dan sanksi terkait THR di Indonesia, tunjangan hari raya yang telah menjadi hak pekerja dan bagian penting budaya Indonesia.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani Diperbarui 10 Mar 2025, 13:17 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2025, 13:13 WIB
Infografis Aturan THR
Infografis Aturan THR (liputan6.com/Triyasni)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Tunjangan Hari Raya (THR) telah menjadi tradisi tahunan di Indonesia selama lebih dari tujuh dekade. THR diberikan menjelang hari raya keagamaan besar seperti Idul Fitri, Natal, dan lainnya. Pemberian THR ini bertujuan sebagai bentuk apresiasi perusahaan kepada karyawan atas kinerja dan dedikasi mereka, sekaligus membantu meringankan beban finansial karyawan dalam mempersiapkan hari raya.

Tradisi THR ini telah berkembang dari sekadar kebiasaan menjadi kewajiban hukum yang diatur pemerintah. Hal ini memastikan setiap pekerja berhak menerima THR dan melindungi kesejahteraan mereka. Aturan yang jelas dan pengawasan yang ketat diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan kepatuhan perusahaan dalam memberikan THR.

Artikel ini akan membahas sejarah THR, aturan dan perhitungannya, serta mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan pemerintah untuk menjamin hak pekerja. Kita akan melihat bagaimana tradisi ini telah bertransformasi menjadi bagian integral dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana pemerintah memastikan implementasinya yang adil dan transparan.

Sejarah Singkat THR

Mengutip laman NU Lampung, tradisi pemberian THR pertama kali muncul pada tahun 1950, di masa kepemimpinan Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo. Saat itu, pemerintah memberikan tunjangan kepada pamong praja—sebutan untuk pegawai negeri sipil (PNS) kala itu—sebagai bentuk dukungan kesejahteraan.

Pada awalnya,  tunjangan hari raya diberikan dalam bentuk uang persekot atau pinjaman awal yang nantinya dikembalikan melalui pemotongan gaji bulanan. Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi PNS, sementara pekerja sektor swasta dan buruh tidak mendapatkan hak serupa. Hal ini memicu gelombang protes dari kalangan buruh, yang pada 13 Februari 1952 menggelar aksi mogok untuk menuntut hak mereka atas tunjangan hari raya. Setelah perjuangan panjang, akhirnya buruh mendapatkan hak THR yang sama dengan PNS.

Pemerintah kemudian mengatur pemberian THR secara lebih resmi pada tahun 1994 melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994. Peraturan ini memastikan bahwa pekerja di perusahaan swasta juga berhak menerima THR sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kesejahteraan.

Promosi 1

Aturan dan Perhitungan THR

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 mengatur secara rinci tentang pemberian THR. THR diberikan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya. Besaran THR untuk karyawan yang telah bekerja selama 12 bulan dihitung berdasarkan gaji pokok dan tunjangan tetap.

Untuk karyawan yang masa kerjanya kurang dari 12 bulan, perhitungan THR dihitung secara proporsional berdasarkan masa kerjanya. Rumus perhitungan THR yang jelas dan transparan memastikan keadilan bagi seluruh pekerja, terlepas dari lamanya masa kerja mereka.

Pemerintah juga menyediakan berbagai saluran informasi dan pengaduan untuk memastikan setiap pekerja memahami haknya dan dapat melaporkan jika terjadi pelanggaran aturan. Hal ini penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian THR.

Regulasi mengenai THR terus berkembang. Pada tahun 2003, pemerintah memperjelas hak pekerja melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa setiap pekerja yang telah bekerja lebih dari tiga bulan berhak menerima THR. Kemudian pada tahun 2016, aturan lebih lanjut ditegaskan bahwa THR harus diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya.

Perkembangan Makna THR

Seiring waktu, makna THR tidak lagi terbatas pada dunia kerja saja. Di masyarakat, istilah THR telah meluas dan mencakup berbagai bentuk pemberian yang dilakukan menjelang Lebaran. Misalnya, seorang perantau yang membagikan uang kepada orang tua dan saudara, orang tua yang memberikan hadiah kepada anaknya yang berhasil menjalankan puasa penuh, atau kakak yang memberikan bingkisan kepada adiknya.

Di lingkungan kerja, pemberian THR juga mengalami perubahan. Jika dulu THR umumnya berupa uang tunai, kini banyak perusahaan yang memberikan dalam bentuk lain, seperti paket sembako, makanan ringan, kue Lebaran, sirop, pakaian, hingga parsel eksklusif. Makna THR pun semakin luas, bukan sekadar tunjangan ekonomi, tetapi juga simbol kepedulian, kebersamaan, dan kasih sayang.

Dalam konteks sosial, THR telah menjadi bagian dari tradisi Lebaran yang sangat dinantikan. Bagi banyak orang, pemberian THR bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terdekat. Tak heran, perusahaan atau individu yang enggan memberikan THR sering kali dianggap kurang peduli atau bahkan “pelit.”

Pengawasan dan Sanksi

Pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap pemberian THR untuk memastikan kepatuhan perusahaan. Dinas Ketenagakerjaan di setiap daerah berperan penting dalam mengawasi pelaksanaan pemberian THR, termasuk memantau jadwal, verifikasi besaran THR, dan menangani pengaduan.

Posko pengaduan THR juga dibuka setiap tahun menjelang hari raya untuk menerima laporan dari pekerja terkait permasalahan THR. Posko ini dilengkapi dengan prosedur penanganan yang jelas dan tim khusus untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan profesional. Respon cepat dan efektif terhadap pengaduan sangat penting untuk menjamin hak pekerja.

Pelanggaran terhadap ketentuan pemberian THR dapat dikenakan sanksi administratif yang berjenjang, mulai dari teguran hingga sanksi yang lebih berat. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan memastikan kepatuhan perusahaan dalam memberikan THR sesuai aturan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya