15 Tahun, Proses Tercepat Pembuatan Vaksin di Indonesia

Apabila ada kegagalan, proses pembuatan vaksin harus diulang dari awal dan menambah waktu hingga dua sampai tiga tahun lagi

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 24 Sep 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2018, 15:00 WIB
20160628-Ilustrasi-Vaksin-iStockphoto
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Ada alasan mengapa vaksin baru bisa diproduksi secara massal hingga puluhan tahun. Ini dikarenakan prosesnya tidak semudah pembuatan obat.

Untuk meneliti vaksin yang akan digunakan pada hewan saja, butuh waktu bertahun-tahun lamanya. Proses ini dijelaskan oleh Corporate Secretary Bio Farma Bambang Heriyanto pada Health Liputan6.com ketika ditemui di kantor Bio Farma, Bandung. Ditulis Senin (24/9/2018).

"Setelah dapat kandidat virusnya untuk vaksin, ini harus dimasukkan laboratorium dulu kan. Nanti ada lab scale, up scale, skala produksi. Nanti harus di tes dulu ke hewan. Itu sekitar dua tahun sampai tiga tahun," ujar Bambang.

Apabila berhasil diuji ke hewan, Bambang mengatakan setelah itu baru bisa diuji coba ke manusia. Waktunya pun bisa memakan hingga tiga tahun dan terdiri dari berbagai tahapan.

"Tahap satu untuk safety, efikasi. Nanti tahap duanya tambah lagi populasinya. Misalnya dari 500 sampel jadi 1000 atau 2000. Setelah itu fase tiga lebih besar lagi populasinya. (Waktunya) hampir sama sekitar dua sampai tiga tahun," ujar Bambang.

Menurutnya, satu jenis vaksin baru paling cepat bisa memakan waktu sampai lima belas tahun.

Bambang menambahkan, apabila suatu vaksin tidak lolos di satu tahap, maka proses penelitiannya harus diulang dari awal lagi.

"Jadi mulai dari awal. Harus cari kandidat lagi," kata Bambang.

Simak juga video menarik berikut ini:

 


Rumitnya Proses Bisnis Vaksin

Biofarma
Bio Farma juga merupakan rujukan bagi produsen vaksin di negara-negara Islam. (Foto: Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

 Selain proses pembuatan, salah satu yang rumit adalah dari sisi bisnisnya. Direktur Utama Bio Farma, M. Rahman Roestan mengatakan, karakteristik regulasi bisnis vaksin sangatlah ketat.

"Kemudian capital investment-nya pun cukup tinggi. Kemudian untuk kompetensi karyawannya pun cukup jarang," ujar Rahman. Dia mengatakan, saat ini bidang vaksinologi di universitas-universitas di Indonesia belum ada. Sehingga, dari segi Sumber Daya Manusia-nya pun tidak mudah.

Selain itu, fungsi sosialnya pun juga terbilang tinggi. Sehingga, apabila tujuannya untuk mencari keuntungan haruslah dicari dari ekspor vaksin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya