Jeritan Pilu Orangtua Pasien Penyakit Langka karena Tatapan Aneh Orang-Orang

Beban psikologis yang dialami Suci, orangtua dari Ruman yang mengidap penyakit langka Glucose-Galactose Malabsorption Syndrome (GGM).

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 14 Mar 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2019, 10:00 WIB
Liputan 6 default 2
Ilustraasi foto Liputan6

Liputan6.com, Jakarta Tatapan kurang menyenangkan itu selalu menghantui Suci Istiqa Mustafa. Hatinya hancur berkeping-keping bila mengingat perlakuan sejumlah orang terhadap anak perempuannya, Rumman Andarra Hishani, yang didiagnosis dengan penyakit langka.

Lantaran mengidap Glucose-Galactose Malabsorption Syndrome (GGM), selang infus harus selalu terpasang di hidung Rumman. Hal itu guna memenuhi cairan di dalam tubuhnya.

Sayang, sebagian orang masih menganggap hal yang menimpa bocah berumur enam bulan tersebut sebagai "pemandangan tak biasa".

Rasa sakit itu masih sangat membekas, sekalipun bocah pengidap penyakit langka itu telah tiada. Rumman meninggal dunia pada 2018.

Bagi orangtua seperti Suci, tatapan mata orang-orang setiap kali membawa Rumman ke pusat perbelanjaan amat mengganggu. Tak hanya tatapan saja, mereka juga tampak berbisik. Tentu Suci berpikir mereka tengah membicarakan kondisi putrinya.

“Dampak sosial psikologi juga ada sedikit masalah. Saat saya bawa anak ke mal, yang mana dia pakai selang di hidung, semua mata pengunjung memandang. Terus mereka sambil bisik-bisik membicarakan kondisi anak saya, ‘Kenapa sih pakai selang?’. Mungkin begitu (yang dibisikkan),” kata Suci saat berbagi cerita kenangan Rumman belum lama ini.

Bagi Suci, tatapan dan bisik-bisik tersebut dianggap mengganggu dan tidak nyaman. Ia justru mempertanyakan, kenapa kondisi Rumman diperbincangkan.

"Memangnya ada yang salah?" ujarnya.

Pengalaman berat tersebut membuat Suci terbebani. Hal itu semacam stigma negatif yang seringkali harus dihadapi para orangtua dari anak pengidap penyakit langka. Kesabaran, ketabahan, dan tekad kuat menjadi modal utama bagi Suci untuk terus mengobati dan merawat sang buah hati.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Didiagnosis usia 6 bulan

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Rumman pertama kali didiagnosis penyakit langka GGM pada usia 6 bulan. Pada waktu itu, Suci sudah berencana berkonsultasi dokter anak. Ia ingin menanyakan, apa saja Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang tepat. Ini demi mempersiapkan Rumman yang sudah siap memasuki tahap MPASI.

Ketika membawa Rumman ke dokter anak, berat badan Rumman ternyata kurang. Suci tidak menyebutkan berapa berat badan sang anak.

“Dokter anak bilang, kok beratnya kurang. Beratnya tidak sesuai dengan bayi usia 6 bulan. Makanan (MPASI) dipending (ditunda untuk diberikan) dulu. Akhirnya, dia cukup diberi susu dulu. Tapi tetap saja enggak bisa naik (berat badannya),” ujar Suci, yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit mata di Royal Progress Hospital.

Dokter anak sudah berpesan, kalau berat Rumman tidak bertambah harus konsultasi ke ahli gizi metabolik. Setelah mendengar tanggapan dokter anak, Suci penasaran apa yang terjadi pada Rumman. Apalagi saat memasuki usia 6 bulan pertama, Rumman sering muntah-muntah.

“Kok anak saya terus-terusan muntah. Ketika dia minum susu dengan kadar gula tinggi sampai diare 8 kali sehari. Pas diare, yang keluar itu air. Dan itu meleber (merembes) ke mana-mana,” ucapnya.

Rumman pun dibawa Suci ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter yang menangani Rumman di RSCM curiga Rumman menderita GGM. Suci tak menyangka, putrinya menderita penyakit langka. Meski ia berprofesi dalam dunia medis, Suci awalnya tidak curiga, bahkan tidak tahu ada penyakit GGM.

GGM adalah kelainan metabolisme yang jarang terjadi dan disebabkan kekurangan glukosa dan transportasi galaktosa melintasi lapisan usus. Penyakit langka ini ditandai diare berat dan dehidrasi sejak hari pertama kehidupan (bayi lahir). Kondisi ini dapat berujung kematian yang cepat jika laktosa (zat gula yang terdapat pada susu), sukrosa, glukosa, dan galaktosa tidak disingkirkan dari makanan.

Dari jurnal berjudul "Glucose galactose malabsorption" yang dipublikasikan di National Center for Biotechnology Information (US), setengah dari 200 kasus GGM parah ditemukan di seluruh dunia.

Pengobatan yang dilakukan berupa terapi untuk menaikkan berat badan. Terapi memang berhasil membuat berat badan Rumman bertambah, tapi berat badan itu untuk anak seusianya masih sangat jauh dan tertinggal. Misalnya, saat ia berusia 1 tahun 5 bulan, berat badannya naik secara signifikan, tapi masih belum sesuai dengan usianya. Untuk mengejar ketertinggalan sangat jauh dan sulit.

“Berat badan dia tidak sesuai usia. Untuk terapi diberikan susu khusus. Setelah diberi susu, beratnya membaik dan diare berkurang. Sayangnya, catch up (peningkatan) berat badan sesuai usia masih jauh,” Suci menerangkan dengan nada pilu.

Berjibaku cari susu khusus

susu
Suci harus berjibaku mencari susu khusus. copyright Rawpixel

Perjuangan Suci mencari susu untuk Rumman juga gencar dilakukan. Susu khusus untuk sang buah hati harus dipesan di luar negeri. Ini karena susu tersebut tidak diproduksi di dalam negeri. Dalam banyak kasus penyakit langka, kebutuhan susu pun didatangkan dari luar negeri.

“Susunya khusus dan hanya diproduksi di pabrik di luar negeri setahun itu dua kali. Jadi, pihak pabrik mendata, negara mana saja yang punya kebutuhan susu tersebut. Setiap bulan, mereka mendatanya. Saat Rumman membutuhkan susu itu ternyata belum diproduksi,” papar Suci.

Ia pun berjibaku mencari susu dan meminta bantuan ke beberapa teman yang sedang berada di luar negeri. Pencarian menggunakan situs daring juga dijajal Suci. Akhirnya, susu yang dibutuhkan Rumman ada di Belanda. Ia meminta bantuan kepada temannya di Belanda untuk mengirimkan susu tersebut ke Indonesia.

“Pengiriman butuh waktu lama sekali karena terkait bea cukai,” lanjut dia. 

Kondisi Rumman semakin memburuk. Selang infus pun sudah dipasang di seluruh badannya, termasuk di bagian dada. Rumman pun tak bertahan hidup lama.

Menurut jurnal Glucose galactose malabsorption, setidaknya 10 persen dari populasi memiliki intoleransi glukosa—kondisi keadaan tubuh tidak mampu memetabolisir gula sebagaimana mestinya.  Intoleransi glukosa ini biasanya terjadi di dalam usus kecil, yang disebut lumen.

Laktosa dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim, yang disebut laktase, sedangkan sukrosa dipecah menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim, yang disebut sukrase. Glukosa dan galaktosa jika tidak diangkut dan menarik air keluar dari tubuh ke lumen usus dapat menyebabkan diare.

Meskipun tidak ada obat untuk GGM, pasien dapat mengontrol gejala diare dengan menyingkirkan laktosa, sukrosa, dan glukosa dari makanan. Bayi yang menunjukkan, gejala GGM berupa diare dapat tumbuh dan bertahan hidup dengan formula pengganti berbasis fruktosa. Kemudian anak dapat diet berbasis fruktosa.

Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan GGM parah juga dapat mengelola gejala pada diet berbasis fruktosa. Diet yang dilakukan dengan baik dan penanganan tepat menunjukkan, peningkatan toleransi glukosa, bahkan remisi klinis seiring bertambahnya usia.

Saling berbagi cerita

Liputan 6 default 5
Ilustraasi foto Liputan 6

Kondisi anak yang mengidap penyakit langka menjadikan orangtua harus sabar dan tabah. Rasa frustasi dan putus asa bisa saja menghampiri para orangtua. Ketidaktahuan informasi penyakit, diagnosis yang lama, dan pengobatan yang sulit jadi tantangan dan kendala tersendiri.

Beban psikologis dan stigma negatif juga harus dihadapi orangtua. Tantangan dan harapan pasien penyakit langka untuk menjalankan hidup terus diupayakan. Dukungan mengurangi beban psikologis sekaligus meningkatkan ketabahan orangtua dari anak pengidap penyakit langka perlu dilakukan.

Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia punya cara untuk menangani beban psikologis orangtua.

“Kami biasanya mengadakan sharing session (sesi berbagi cerita dan pengalaman) buat para orangtua yang punya anak pengidap penyakit langka. Di sesi itu setiap orangtua saling berbagi cerita, mulai kondisi anak, cara pengobatan, perawatan, dan psikologis yang dirasakan,” ungkap Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Peni Utami saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa, 12 Maret 2019.

Pada sharing session tersebut, banyak juga orangtua yang sudah berhasil menangani anak. Mereka punya cara sendiri, bagaimana mengatasi stigma negatif dan pandangan tidak menyenangkan dari orang lain. Trik tersebut dapat dicontoh dan jadi inspirasi orangtua lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya