Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mengungkapkan bahwa gagal jantung menjadi penyebab terbesar kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terjadi setelah Pemilu 2019.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko mengatakan bahwa di urutan kedua penyebab kematian terbesar adalah stroke dan infarct myocard.
Baca Juga
Meski belum merilis angka rincinya, Hesty mengungkapkan bahwa per 12 Mei 2019 pukul 18.00 WIB, data korban petugas KPPS yang masuk berasal dari 17 provinsi. Pihaknya masih menunggu hasil otopsi verbal lainnya.
Advertisement
"Yang terbanyak ada di wilayah DKI Jakarta dan Banten untuk yang sakit. Urutan ketiga ada di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sementara, untuk kematian, angka tertinggi ada di Jawa Barat," kata Hesty dalam diskusi publik di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta pada Senin (13/5/2019).
"Kami juga tidak menyangka (untuk kematian) ada di Kalimantan Selatan urutan kedua," tambah Hesty.
Â
Simak juga video menarik berikut ini:
Kemenkes Lakukan Otopsi Verbal
Data 11 Mei 2019 yang dikutip dari laman Sehat Negeriku mengungkapkan bahwa data yang masuk masih berasal dari 15 provinsi. Setidaknya, ada 13 jenis penyakit dan 1 kecelakaan yang dianggap penyebab kematian.
Beberapa penyakit lain yang sudah diketahui adalah koma hepatikum, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multi organ. Usia korban paling tinggi berada di kisaran 50 hingga 59 tahun, sementara yang kedua terbesar ada di usia 40 hingga 49.
Hesty mengatakan bahwa Kemenkes sudah melakukan audit medis terhadap pasien yang meninggal di rumah sakit. Sementara, untuk yang ditemukan di luar rumah sakit, berdasarkan kesepatakan dengan beberapa stakeholder terkait, dilakukan otopsi verbal.
Â
Advertisement
IDI Komentari Otopsi Verbal Kemenkes
Mengenai cara otopsi verbal yang dilakukan Kemenkes, Ketua PB IDI Daeng M. Faqih mengatakan, metode tersebut masih memiliki kelemahan dalam tingkat validitas. Yaitu karena hanya berdasarkan wawancara orang-orang di sekitarnya.
"Kalau rekam medis memang lebih tinggi karena dikumpulkan langsung dari pasiennya. Kecuali yang dikumpulkan dari otopsi verbal adalah hasil otopsi jenazah. Nilai tingginya bukan karena verbal tapi dari otopsi jenazahnya," kata Daeng menjelaskan.
"Kalau orang lain yang bicara, bisa beda-beda perspektifnya," tambahnya.
Maka dari itu, Daeng meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi macam-macam sembari menunggu hasil dari pihak-pihak yang melakukan penelitian dan investigasi.
Daeng juga mengatakan, apabila ada dokter atau masyarakat yang menemukan ada kejanggalan dalam kasus kematian, mereka diperbolehkan untuk melapor ke pihak yang berwenang.
"Kalau hak melaporkan ada kecurigaan, sebagai hak masyarakat boleh. Itu dijamin oleh peraturan. Tetapi kalau berspekulasi atau menduga-duga, itu yang jangan," Daeng menegaskan.