Perang Tarif AS: Ancaman Baru atau Peluang Tersembunyi Pasar Modal?

Amerika Serikat (AS) akhirnya mengumumkan informasi lebih jelas terkait kebijakan tarif baru, mencakup negara, jenis barang, besaran tarif impo

oleh Pipit Ika Ramadhani Diperbarui 12 Mar 2025, 14:00 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2025, 14:00 WIB
Akhir 2019, IHSG Ditutup Melemah
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Setelah sempat tertunda, Amerika Serikat (AS) akhirnya mengumumkan informasi lebih jelas terkait kebijakan tarif baru, mencakup negara, jenis barang, besaran tarif impor, serta tanggal efektifnya.

Kejelasan ini diharapkan dapat mengurangi volatilitas pasar yang selama ini dipicu oleh ketidakpastian kebijakan perdagangan.

Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha mencermati, sejak Januari pasar telah mengalami peningkatan keresahan akibat informasi tarif yang tidak lengkap dan berubah-ubah. Economic Policy Uncertainty Index menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan dan moneter menjadi kekhawatiran utama pasar.

"Indeks ketidakpastian perdagangan pada Februari bahkan mencapai level tertinggi kedua sejak perang tarif 2018. Dengan adanya kepastian terkait tarif, pasar diharapkan dapat menilai kembali risiko dan peluang yang ada, sehingga volatilitas dapat mereda," ungkap Dimas, Rabu (12/3/2025).

Dampak terhadap China dan Indonesia

Kebijakan tarif AS sering kali melibatkan tiga negara utama: China, Kanada, dan Meksiko. Namun, dibandingkan dengan perang tarif 2018, dampak terhadap China kali ini diperkirakan lebih terbatas.

"China telah melakukan diversifikasi perdagangan ke negara dan kawasan lain, sehingga ketergantungannya terhadap AS berkurang. Pada 2016, AS menyumbang 20 persen dari total ekspor China, namun pada 2023 angka tersebut turun menjadi 13 persen, sementara ekspor China ke negara berkembang meningkat dari 31 persen menjadi 41 persen," ujar Dimas.

Selain itu, dukungan pemerintah China terhadap sektor swasta domestik juga diharapkan dapat mengurangi dampak eksternal dari kebijakan tarif AS. Sementara, Indonesia relatif tidak terdampak langsung oleh kebijakan tarif ini.

"Pengenaan tarif 25 persen untuk baja dan potensi tarif resiprokal hanya berdampak kecil. Ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya senilai USD 199 juta, atau 0,07 persen dari total ekspor Indonesia sebesar USD 264 miliar. Risiko tarif resiprokal juga diperkirakan terbatas, mengingat tingkat tarif rata-rata antara Indonesia dan AS saat ini sudah setara di kisaran 4 persen," jelasnya.

Namun, risiko yang lebih besar bagi Indonesia berasal dari dampak tidak langsung, seperti potensi penurunan perdagangan global dan permintaan ekspor, serta kenaikan harga barang-barang impor. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

 

Promosi 1

Kebijakan Moneter The Fed dan Bank Indonesia

The Fed
The Fed (www.n-tv.de)... Selengkapnya

The Fed sebelumnya telah menurunkan suku bunga pada Desember, sementara Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate pada Januari. Namun, komentar terakhir The Fed mengindikasikan sikap yang lebih berhati-hati terhadap pemangkasan suku bunga lanjutan.

"Faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah inflasi yang masih di atas target 2 persen serta sektor tenaga kerja yang masih kuat. Proyeksi pasar saat ini mengindikasikan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin tahun ini, dengan kemungkinan penyesuaian lebih agresif jika indikator ekonomi melemah," kata Dimas.

Sementara itu, BI saat ini berupaya menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi. Dengan BI Rate tetap di 5,75 persen untuk mengatasi tekanan terhadap rupiah, BI tetap membuka peluang pemangkasan suku bunga ke depan. "Selain itu, pelonggaran Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) menjadi langkah BI untuk menopang sektor prioritas, termasuk perumahan, konstruksi, UMKM, dan pariwisata. Proyeksi BI Rate hingga akhir tahun berada di kisaran 5,25 persen - 5,50 persen," tambahnya.

Tantangan Ekonomi Indonesia dan Sentimen Pasar

Saat ini, pemerintah Indonesia berupaya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan jangka pendek dan panjang. Konsumsi domestik yang masih lemah menjadi tantangan utama, dengan kontribusi terhadap PDB yang turun dari 55 persen-58 persen sebelum pandemi menjadi 54 persen saat ini. "Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan konsumsi, seperti program MBG, kenaikan UMR, kenaikan upah ASN, pembatalan kenaikan PPN, dan stimulus fiskal," jelas Dimas.

Di sisi lain, investasi menjadi kunci pertumbuhan jangka panjang. "Sebelum pandemi, rata-rata pertumbuhan investasi dalam PDB Indonesia berada di kisaran 5 persen, sementara untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, dibutuhkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen. Pembentukan Danantara diharapkan dapat menjadi solusi dalam optimalisasi pengelolaan aset dan investasi negara, meskipun masih terdapat ketidakpastian di pasar terkait transparansi pengelolaannya," paparnya.

 

Pasar Finansial: Saham dan Obligasi

Bursa saham Asia Pasifik lesu pada perdagangan Kamis, (4/5/2023) usai the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga. (Foto: Jason Briscoe/Unsplash)
Bursa saham Asia Pasifik lesu pada perdagangan Kamis, (4/5/2023) usai the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga. (Foto: Jason Briscoe/Unsplash)... Selengkapnya

Pasar saham Indonesia mengalami tekanan akibat ekspektasi investor asing untuk mengurangi eksposur investasi di negara berkembang, dipengaruhi oleh penguatan USD, ketidakpastian geopolitik, serta kinerja earnings korporasi yang tidak sesuai ekspektasi.

"Stabilitas nilai tukar rupiah dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor penting untuk pemulihan sentimen pasar saham," ungkap Dimas.

Sebaliknya, pasar obligasi menunjukkan ketahanan di tengah dinamika global. "Minat investor asing terhadap obligasi Indonesia meningkat, didukung oleh sinyal dari BI terkait peluang pemangkasan suku bunga. Selain itu, penerbitan SRBI yang menurun membantu meningkatkan daya tarik Surat Berharga Negara (SBN)," ujarnya.

Meskipun demikian, risiko tetap ada, terutama akibat dinamika pasar global dan persepsi terhadap kebijakan domestik. "Untuk menghadapi ketidakpastian ini, investor disarankan untuk memiliki portofolio yang terdiversifikasi agar tetap bisa memanfaatkan peluang investasi di tengah volatilitas pasar," pungkas Dimas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya