Didiagnosis Alergi Makanan, Penyakit Langka Nyaris Membunuh Bocah Ini

Awalnya dokter mendiagnosis bahwa Gabby terkena alergi biasa. Namun, kondisinya semakin parah

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 13 Okt 2019, 09:13 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2019, 09:13 WIB
Ilustrasi alergi (iStock)
Anak ini didiagnosis alergi makanan, padahal sesungguhnya dia mengalami penyakit langka (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Petugas medis tak sadar bahwa Gabriella Bondi, seorang anak berusia delapan tahun, mengalami sebuah infeksi langka. Mereka mengatakan pada sang ibu bahwa bocah perempuan itu mengalami alergi makanan.

Kejadian itu berawal ketika Agustus lalu, bocah yang akrab disapa Gabby itu dibawa ke rumah sakit usai mengalami kulit kering, rambut rontok, dan ruam berwarna merah di sekujur tubuhnya. Sang ibu, Christine, diberitahu bahwa dokter mencurigai putrinya terkena alergi makanan tertentu.

"Dia mengirim kami pulang dengan harapan bahwa dia akan merasa lebih baik," kata ibu 35 tahun seperti dilansir dari Mirror pada Minggu (10/12/2019). Tidak lupa, dokter juga membawakannya obat.

Namun, jelang malam, kondisi anak asal Colorado, Amerika Serikat itu memburuk. Ruam berwarna merah nan menyakitkan menyebar ke seluruh tubuhnya. Bahkan, kondisi itu juga membuat kulitnya seperti terbakar matahari.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

Mengalami Sindrom Syok Toksik

Ilustrasi Tulisan Tangan Dokter dan Dokter (iStockphoto)
Kesalahan diagnosis membuat nyawa anak itu nyaris tidak terselamatkan (Ilustrasi/iStockphoto)

Christine mencoba membuat sang putri merasa lebih baik malam itu. Namun keesokan harinya, ruam dan lesi yang dialaminya semakin parah. Bahkan, terjadi pembengkakan. Anak itu pun kembali dibawa ke rumah sakit

Saat di rumah sakit, dokter mendiagnosis Gabby terkena Scarlet Fever dan dikembalikan ke rumah bersama obat. Namun tak lama, kondisinya memburuk lagi. Bocah itu segera dilarikan ke rumah sakit anak pusat.

"Dia menggunakan antibiotik infus yang sangat kuat tapi pada saat itu dia dicurigai terkena sesuatu seperti Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), Sindrom Stevens Johnson, atau Toxic Necrolysis Epidermal," kata Christine.

Dokter menyatakan bahwa Gabby mengalami sindrom syok toksik yang disebabkan oleh infeksi impetigo yang sesungguhnya tidak parah jika ditangani dengan cepat.

"Kami bahkan tidak pernah berpikir sedetik pun itu bisa berubah menjadi sesuatu yang mengancam jiwa," kata Christine. Dia mengatakan, diagnosis yang salah membuat kondisi itu menjadi lebih sulit diidentifikasi.

Harus Menunggu Setahun Hingga Benar-Benar Pulih

Koma
Kesalahan diagnosis membuat nyawa anak itu nyaris tidak terselamatkan (Foto: iStockphoto)

Gabby pun dirawat 72 jam seusai mengalami gejala pertamanya. Meskipun jantung dan ginjalnya sempat mengalami masalah, beruntungnya bahwa dia tidak mengalami kegagalan organ yang bisa membunuhnya.

"Jika kami menerima diagnosis alergi makanan dan tidak segera kembali, Gabby mungkin tidak akan bersama kami hari ini."

Gadis itu diberikan antibiotik infus. Beberapa minggu kemudian, ia juga mengonsumsi antibiotik oral. Walau begitu, keadaan itu membuatnya harus menunggu hingga setahun sampai benar-benar pulih.

Selain itu, kondisi tersebut rentan kembali jika Gabby nantinya mengalami menstruasi menggunakan tampon.

"Jadi kami harus selalu waspada untuk memeriksa kulitnya apakah ada tanda kemerahan, gatal, atau lesi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya