Liputan6.com, Jakarta Di tahun 2019, hingga bulan Oktober, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan masih banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah. Masalah itu pun masih berdasarkan pengawasan di media massa.
Data KPAI menunjukkan hingga Oktober, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan mencapai 17 kasus dengan 89 anak menjadi korban. Mereka terdiri dari 55 perempuan dan 34 laki-laki.
Baca Juga
Berdasarkan data KPAI, pelaku terbanyak adalah guru dan kepala sekolah. Mereka terdiri dari guru olahraga (6 orang), guru agama (2 orang), guru kesenian (1 orang), guru komputer (1 orang), guru IPS (1 orang), dan guru kelas (4 orang).
Advertisement
11 kasus terjadi di jenjang SD. Sementara 4 kasus terjadi di jenjang SMP atau sederajat, dan 2 kasus terjadi di jenjang SMA.
"Tingginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD karena usia anak-anak SD adalah masa di mana anak mudah diming-imingi, takut diancam oleh gurunya, takut nilainya jelek dan tidak naik kelas," kata Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI dalam konferensi persnya pada Rabu kemarin di Jakarta, ditulis Kamis (31/10/2019).
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Harus Jadi Prioritas Mendikbud Nadiem Makarim
Retno menambahkan, di usia SD, anak-anam belum paham aktivitas seksual sehingga mereka tidak sadar apabila ia mengalami pelecehan seksual.
Retno juga mengungkapkan ada banyak modus pelaku melakukan kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Mulai dari diajari matematika, diajak menonton film porno, diancam mendapatkan nilai jelek, hingga melakukan pelecehan saat ganti pakaian olahraga.
Selain itu, kebanyakan juga terjadi di ruang kelas. Namun ada juga yang dilakukan di ruang kepala sekolah, kebun, laboratorium komputer, ruang ganti pakaian, dan perpustakaan.
Melihat tingginya kasus kekerasan seksual dan fisik yang terjadi di lembaga pendidikan, KPAI mendorong agar kasus-kasus semacam ini menjadi prioritas bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru Nadiem Makarim.
"Selama ini, meskipun Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan sudah ada, akan tetapi pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah selama empat tahun terakhir ini tidak mengacu pada Permendikbud tersebut," kata Retno dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com.
Advertisement