HEADLINE: Impor Alat dan Obat Sudah Datang, Bagaimana Skema Tes Massal Corona COVID-19?

Jokowi menginstruksikan agar segera dilakukan rapid test secara massal dan memperbanyak sediaan alat tes demi mengatasi pandemi COVID-19. Mulai Jumat (20/3) tes massal melalui sampel darah itu dilakukan.

oleh Fitri SyarifahFitri Haryanti HarsonoGiovani Dio Prasasti diperbarui 21 Mar 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2020, 00:00 WIB
Jokowi Minta Kementerian Arahkan Program Dukung Penanganan Corona
Presiden Joko Widodo melakukan video teleconference dengan Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020). Presiden Jokowi menginstruksikan percepatan agenda kerja semua kementerian. (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta Jumlah orang yang terpapar Corona COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Hingga Jumat (20/3/2020), jumlah kasus positif COVID-19 mencapai 369, 17 kasus sembuh, dan 32 orang meninggal dunia.

Menghadapi kondisi yang semakin genting, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji mengerahkan seluruh kekuatan guna mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia. Beberapa cara telah ditempuh agar penyebaran COVID-19 tak semakin luas, seperti imbauan social distancing hingga beraktivitas dari rumah.

Terbaru, Jokowi juga menginstruksikan agar segera dilakukan rapid test secara massal dan memperbanyak sediaan alat tes. Jokowi menyebut, mulai Jumat (20/3) tes massal melalui sampel darah itu dilakukan.

"Hari ini pemerintah telah mulai melakukan rapid test sebagai upaya untuk memperoleh indikasi awal apakah seseorang positif terinfeksi COVID-19 ataukah tidak. Pemerintah memprioritaskan wilayah yang menurut hasil pemetaan menunjukkan indikasi yang paling rawan terinfeksi COVID-19," kata Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (20/3).

Pada hari yang sama, Juru Bicara Penanganan Percepatan COVID-19 Achmad Yurianto menyampaikan, kit atau alat untuk melakukan rapid test sebagai skrining tes Corona sudah tersedia dan akan dikirimkan ke masing-masing dinas kesehatan provinsi.

"Hari ini juga sudah (ada), kita tinggal kirim 2.000 kit. Harapannya besok sudah bisa masuk ke masing-masing dinas kesehatan provinsi. Kemudian sekitar 100.000 kit lagi yang akan masuk di hari berikutnya," ungkap Yuri saat konferensi pers melalui siaran live di Kantor BNPB, Jakarta. 

Langkah melakukan rapid test secara massal mendapat dukungan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Pria yang akrab disapa Bamsoet ini mengingatkan agar praktik rapid test tidak lantas memancing warga. Menurutnya, Pemerintah melalui tenaga medis bisa mendatangi langsung rumah-rumah warga sehingga tak menimbulkan masalah baru. 

"Diusahakan rapid test tidak dipusatkan di satu tempat dan tidak memancing kerumunan massa. Sehingga, menghindari bercampurnya orang yang telah terpapar virus Covid-19 dengan yang masih sehat. Sebab, orang yang terlihat sehat pun sebenarnya bisa berperan sebagai carrier Covid-19 dan bisa menularkan virus tersebut ke orang lain," ujar Bamsoet mengutip rilis resmi yang diterima Liputan6.com.

 

Infografis Tes Massal Deteksi Corona Covid-19
Infografis Tes Massal Deteksi Corona Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Dimulai dari Jakarta Selatan

Seperti telah disinggung dalam temu media, Jokowi mengatakan wilayah yang menjadi prioritas rapid test adalah wilayah yang terdapat kontak dengan pasien-pasien positif COVID-19. 

"Rapid test memang sudah dilakukan sore hari ini di wilayah yang dulu sudah diketahui ada contact tracking dari pasien positif COVID-19," ujar Jokowi. 

Menurut dia, petugas medis dari rumah sakit dan puskesmas yang ditunjuk mendatangi satu per satu rumah warga di wilayah itu untuk meminta warga melakukan tes Covid-19.

Jokowi mengatakan, wilayah itu ada di Jakarta. "Di Jakarta Selatan," kata Jokowi.

Mendukung langkah tersebut Ketua MPR Ri berharap rapid test juga akan dilakukan ke seluruh DKI Jakarta dan wilayah-wilayah lainnya yang rentan wabah virus corona baru. 

"Sebab, tak hanya DKI Jakarta, mengingat besarnya aktivitas warga dari luar, khususnya dari kawasan Bodetabek yang sehari-hari bekerja ke DKI menggunakan commuter line (KRL) maupun bus yang notabene tak didisinfektan. Maka warganya juga harus segera di rapid test. Saya percaya Pemerintah bisa bergerak cepat, karena kita berkejaran dengan waktu di mana nyawa menjadi taruhannya," ujar Bamsoet.

Meski demikian, tak semua masyarakat bisa menjalani rapid test. Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan bahwa tes cepat ini diprioritaskan untuk masyarakat yang pernah berkontak dengan pasien positif Corona. 

"Kemudian siapa saja target (rapid test), tentunya targetnya adalah masyarakat secara luas terutama mereka-mereka yang secara fisik telah mengalami kontak dengan pasien positif. Tentu ini menjadi prioritas utama," kata Doni dalam video conference usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Kamis (19/3/2020).

Menurut dia, sulit apabila metode tes acak dan massal ini dilakukan oleh seluruh masyarakat. Hal ini mengingat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 260 juta jiwa.

"Kalau seluruh masyarakat mengikuti atau mendapatkan rapid test ini mungkin juga akan sulit. Karena akan sangat banyak, penduduk kita jumlahnya 270 juta jiwa," jelas Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu.

Untuk itu, nantinya tim medis dan tim gabungan yang terdiri dari unsur TNI, Polri, dan Badan Intelijen Nasional (BIN) akan mengkaji siapa saja yang wajib menjalani rapid test.

"Mungkin hasil koordinasi dengan tim medis di lapangan, dengan mereka yang terdiri dari tim gabungan untuk bisa beri masukan siapa yang kira-kira wajib melakukan rapid test," jelas dia.

 

Apa Itu Rapid Test?

Rapid test merupakan mekanisme yang berbeda dengan tes yang selama ini digunakan oleh pemerintah untuk menentukan status positif COVID-19 pada pasien. Karena rapid test ini menggunakan spesimen darah dan bukan tenggorokan atau kerongkongan. Tetapi menggunakan serum darah yang diambil dari darah (pasien)," ungkap Achmad Yurianto.

Kajian untuk melakukan tes Virus Corona (COVID-19) dengan metode rapid test (tes cepat) merupakan salah satu cara yang ditiru Indonesia dari Korea Selatan. Seperti diketahui, Korea Selatan menggunakan metode rapid test dalam mendeteksi Virus Corona baru. Tes ini dinilai sangat efektif menekan penyebaran Virus Corona SARS-CoV-2. Hal itu terbukti membuat angka kematian di Korea Selatan akibat Virus Corona baru turun 0,1 persen atau 84 orang. 

Menurut Yuri, metode rapid test memiliki sejumlah keuntungan. Selain cepat, rapid test juga bisa dilaksanakan di hampir semua laboratorium kesehatan di rumah sakit yang ada di Indonesia. 

Rapid test menggunakan sampel darah. Sampel darah yang akan diperiksa lebih lanjut, dilihat reaksi imunoglobulin (protein yang disekresikan dari sel plasma yang mengikat antigen sebagai efektor sistem imun)-nya. Dibutuhkan reaksi imunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi Corona COVID-19 paling tidak seminggu sebelum terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu.

Upaya ini juga sudah diterapkan di negara-negara lain, yang terdapat kasus Corona COVID-19. "Skrining massal dengan metode imunoglobulin atau pengukuran antibodi di dalam sampel darah ini juga dilakukan oleh banyak negara terdampak Virus Corona," ujar Yuri. 

Seperti namanya, hasil tes cepat ini akan keluar cepat. Yuri menyebut, hasilnya bisa didapat kurang dari 2 menit. Namun jangan keliru, rapid test ini bukanlah untuk diagnosis COVID-19, melainkan suatu tahap skrining. 

"Tes Corona massal ini baru tahap skrining saja, bukan untuk deteksi atau diagnosis pasti orang yang bersangkutan positif atau tidak kena COVID-19," kata Juru Bicara Penanganan Percepatan COVID-19 Achmad Yurianto saat dihubungi Health Liputan6.com.

Tujuan dari skrining massal menggunakan rapid test untuk membantu penanganan potensi penyebaran COVID-19. Dan meski dilakukan secara massal, bukan berarti tes ini menyasar masyarakat secara luas per individu. Rapid test ini dilakukan kepada orang-orang yang dicurigai punya gejala COVID-19, berkontak dengan teman atau rekan kerja yang positif atau ada gejala COVID-19.

Menyoal rapid test, Herawati Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dalam diskusi jarak jauh yang diadakan oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) beberapa hari lalu mengatakan tingkat kepercayaan pada tes ini paling rendah dibandingkan tes lainnya. 

Menurut Hera, melakukan tes secara masif memang diperlukan dan sangat baik. Namun Hera mengingatkan agar mempertimbangkan tingkat sensitivitas tes.

"Rapid test mudah, 5 menit. Tapi hati-hati, jangan kayak kita ambil tes hamil di supermarket. Tes lalu positif. Perlu diketahui, hasil positif yang muncul belum tentu dia betul-betul terinfeksi. Sebaliknya, hasil negatif tidak bisa menyingkirkan ada infeksi COVID-19 tersebut. Kalau negatif juga tidak meyakinkan dia berpotensi tetap menularkan kepada yang lainnya. Ini yang dimaksud hasil (rapid test) bisa false negative atau false positive," jelasnya.

Selain itu, Hera mengatakan rapid test memiliki kelemahan lain. Hasil negatif bisa saja didapat dari individu yang kekebalan tubuhnya turun atau immunocompromised. "Kalau mereka yang immunocompromised (kekebalan tubuhnya turun), tidak bisa membentuk zat antibodinya, dia bisa negatif. Padahal karena sakit, bisa saja dia positif."

"Silakan saja gunakan rapid test untuk awal, namun hasil penelitian tetap mengacu pada molekuler sebagai landasan dari kebijakan," tuturnya.

 

Dilanjutkan dengan PCR

Yuri menyebut, skrining dengan rapid test Corona massal untuk mengetahui secara awal, apakah seseorang mengarah pada gejala COVID-19. Hasil skrining yang positif akan diuji menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) atau real time polymerase chain reaction (RT-PCR).

"Apabila dinyatakan positif, individu yang telah melakukan skrining melalui pendekatan ini (rapid test) akan diuji ulang dengan metode tes polymerase chain reaction (PCR) yang jauh lebih akurat," Yuri menegaskan.

PCR ini menggunakan sampel usapan (swab) lendir dan tenggorokan. Kita mengenalnya dengan metode swab tenggorok. PCR-lah yang akan menjadi acuan diagnosis, seseorang positif atau tidak COVID-19. 

 

Setelah Jalani Rapid Test, Tak Semua Pasien COVID-19 Dirujuk ke Rumah Sakit 

Yuri mengatakan, Pemerintah bakal mengecek kesehatan seluruh orang yang berisiko terinfeksi virus Corona melalui rapid test. Menurut data, jumlahnya berada di kisaran 600 ribu sampai 700 ribu orang.

"Dilakukan dengan analisis risiko. Tidak semua orang harus diperiksa mana kala risiko kita yakini rendah, tidak (diperiksa)," kata dia.

Apabila menemukan kasus positif Covid-19 dari skrining tersebut, Yurianto menuturkan, pihaknya bakal melakukan sosialiasi terhadap orang tersebut tentang isoalasi diri di rumah atau self isolation.

"Tentunya akan ada panduan tentang ini," ucap dia.

Yurianto berharap, orang yang dinyatakan positif COVID-19 dari tes itu bisa berada di rumah. Menurut dia, ini adalah upaya mengurangi beban kapasitas rumah sakit.

"Orang ini melakukan kegiatan yang baik, pakai masker, asupan gizi cukup menjaga jarak dengan keluarga yang lain dan dilakukan monitoring oleh petugas kesehatan," ujar Yuri. 

Sebaliknya, bagi orang yang positif COVID-19 disertai gejala akan disiapkan ruang perawatan oleh Pemerintah. Saat ini, jumlah tempat tidur untuk ruang perawatan COVID-19 telah ditambah. Beberapa tempat yang disiapkan, antara lain Wisma Atlet. Lokasi ini disiapkan untuk pasien di Jakarta.

Ada juga beberapa hotel termasuk meminta partisipasi rumah sakit swasta dan rumah sakit BUMN untuk mendedikasikan seluruh kapasitas tempat tidurnya untuk pasien Covid-19.

"Ini adalah upaya-upaya yang dilakukan. Harapan setelah perawatan baik tentunya akan bisa menjadi sembuh dan muncul imonologi yang bagus dan juga yang bersangkutan bisa sehat kembali," tutup dia.

 

Memesan Avigan

Avigan atau Favipiravir, obat yang disebut bisa menyembuhkan pasien Virus Corona COVID-19. (Xinhua)
Avigan atau Favipiravir, obat yang disebut bisa menyembuhkan pasien Virus Corona COVID-19. (Xinhua)

Selain menginstruksikan agar segera dilakukan rapid test massal, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa Indonesia akan mendatangkan beberapa obat yang diklaim dan diuji oleh negara lain, bermanfaat bagi pasien yang terkena COVID-19.

Jokowi mengungkapkan, obat pertama yang akan didatangkan adalah obat flu Avigan dan kedua adaah Chrolorquine. "Kita telah mendatangkan lima ribu, akan kita coba dan dalam proses pemesanan dua juta."

Avigan (Favipiravir) adalah agen anti-virus yang secara selektif dan berpotensi menghambat RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) dari virus RNA. Fujifilm Toyama mengembangkan obat ini pada tahun 2014 dan telah diuji coba kepada manusia yang terinfeksi Virus Corona COVID-19 sejak Februari.

Uji klinis dilakukan pada 200 pasien di rumah sakit Wuhan dan Shenzen. Dari Shenzhen sendiri, menyumbang 80 pasien, 35 pasien yang menerima perlakuan obat oral favipiravir, dan 45 orang dalam grup kontrol (tidak minum obat favipiravir), mengutip dari Xinhuanet.

Otoritas medis di Cina mengatakan obat yang digunakan di Jepang untuk mengobati jenis baru influenza ini tampaknya efektif pada pasien COVID-19.

Zhang Xinmin, seorang pejabat di kementerian ilmu pengetahuan dan teknologi Cina, mengatakan favipiravir, memberikan hasil yang menggembirakan dalam uji klinis di Wuhan dan Shenzhen yang melibatkan 340 pasien.

"Pasien yang diberi obat di Shenzhen berubah status menjadi negatif setelah rata-rata empat hari setelah menjadi positif, dibandingkan dengan rata-rata 11 hari untuk mereka yang tidak diobati dengan obat," kata penyiar publik NHK.

Selain itu, sinar-X mengkonfirmasi peningkatan kondisi paru-paru pada sekitar 91 persen pasien yang diobati dengan favipiravir, dibandingkan dengan 62 persen atau mereka yang tidak menggunakan obat.

Hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa pasien yang menerima obat teruji negatif dalam waktu singkat, sedangkan gejala pneumonia sangat berkurang. 

Hingga kini, obat Avigan masih terus dikembangkan. Para ilmuwan juga tengah menunggu hak paten obat tersebut agar bisa mengembangkan obat generiknya.

 

Chloroquine

Obat kedua yang disiapkan untuk menghadapi COVID-19 adalah Chlorquine."Sementara itu, obat kedua adalah chloroquin yang telah disiapkan sebanyak tiga juta," kata Jokowi.

Chloroquine merupakan obat anti malaria yang telah digunakan selama sekitar 70 tahun. Obat ini merupakan kandidat potensial untuk obat SARS-CoV-2, atau yang lebih kita kenal dengan Virus Corona, virus penyebab Covid-19.

Obat ini tampaknya dapat memblokir virus dengan mengikat diri ke sel manusia dan masuk untuk mereplikasi. Obat ini juga merangsang kekebalan tubuh.

Pada 4 Februari, sebuah studi di Guangdong, Cina, melaporkan bahwa chloroquine efektif dalam memerangi Virus Corona.

Para dokter di Marseille, bagian selatan Prancis mengklaim pasien berhasil diobati dengan obat malaria chloroquine. Pada sebuah studi, 20 dari 36 pasien diberikan obat tersebut. Setelah 6 hari, 70 persen pasien tersebut dinyatakan sembuh, virus tidak lagi ada di sampel darah, dibandingkan 12,5 persen pasien grup kontrol.

Dokter di Australia dan Cina juga telah melihat hasil yang menjanjikan dari chloroquine dan berharap bisa memulai uji coba dalam beberapa minggu ke depan.

Robin May, profesor penyakit menular di University of Birmingham, mengatakan bahwa prosesnya belum dipahami dengan baik. Namun, ia berspekulasi bahwa proses yang disebut "endositosis", yaitu virus masuk ke inang, mungkin ada hubungannya dengan itu.

“Ini berarti bahwa virus pada awalnya dimasukkan ke dalam 'kompartemen' intraseluler yang biasanya bersifat asam. Chloroquine akan mengubah keasaman kompartemen ini, yang dapat mengganggu kemampuan virus untuk melarikan diri ke sel inang dan mulai mereplikasi,” katanya.

"Kemungkinan lain adalah bahwa chloroquine dapat mengubah kemampuan virus untuk mengikat bagian luar sel inang, yang merupakan langkah penting pertama untuk masuk."

Selama sekitar 10 tahun telah ada penelitian yang melaporkan efek anti-virus chloroquine dan itu digunakan untuk mengobati pasien dalam wabah sindrom pernapasan akut (SARS) yang parah dari tahun 2002 hingga 2003.

"Chloroquine menerima perhatian yang relatif sedikit ketika wabah SARS menghilang. Menyadari bahwa virus Covid-19 saat ini adalah kerabat dekat, beberapa peneliti telah menguji apakah Chloroquine mungkin digunakan untuk terapi pandemi saat ini," kata Dr Andrew Preston, peneliti microbial pathogenesis di University of Bath, seperti dikutip Telegraph.

 

Diantar ke rumah 

Jokowi mengatakan, kedua obat itu nantinya akan diantar ke rumah sakit dan rumah pasien corona.

"Obat tersebut akan sampai kepada pasien yang membutuhkan melalui dokter keliling dari rumah ke rumah, melalui rumah sakit dan puskesmas di kawasan yang terinfeksi," ujar Jokowi.

Obat tersebut akan diproduksi secara massal. Sehingga, diharapkan dapat menekan angka kematian akibat Virus Corona. "Saya minta BUMN farmasi yang memproduksi ini untuk memperbanyak produksinya," ucap Jokowi.

Kendati begitu, Jokowi menegaskan bahwa kedua obat tersebut bukan antivirus corona. Pasalnya, hingga kini antivirus belum ditemukan.

"Antivirus sampai sekarang belum ditemukan. Ini yang saya sampaikan itu tadi obat," tutur Jokowi.

Korea Selatan Tolak Avigan

Peneliti Laboratorium
Ilustrasi Foto Peneliti (iStockphoto)

Berbeda dengan Indonesia, Korea Selatan memutuskan untuk tidak menggunakan Avigan sebagai pengobatan Virus Corona jenis baru karena keraguan atas kemanjuran dan efek samping potensialnya.

Kementerian Keamanan Pangan dan Obat-obatan Korea Selatan mengatakan, telah memutuskan untuk tidak mengimpor Avigan setelah tim ahli penyakit menular di sini memutuskan tidak ada cukup data klinis untuk membuktikan kemanjuran obat tersebut, seperti dikutip dari kantor berita Yonhap, Jumat (20/3/2020).

Avigan disetujui sebagai obat cadangan untuk influenza reemergent di Jepang pada 2014. Namun, itu belum digunakan untuk mengobati flu biasa karena beberapa penelitian pada hewan menunjukkan potensi kerusakan janin.

"Avigan tidak hanya menunjukkan kemanjuran selama studi uji tetapi juga tidak ada data uji klinis yang dilakukan pada pasien," kata Oh Myoung-don, seorang ahli penyakit menular.

"Obat ini juga menunjukkan efek samping yang serius, seperti kematian janin dalam penelitian pada hewan." 

 

Uji Remdesivir

Pemerintah Seoul telah mengizinkan penggunaan Remdesivir, obat anti-viral eksperimental untuk mengobati pasien COVID-19 sebagai bagian dari percobaan. Remdesivir, obat yang diteliti dan dikembangkan raksasa farmasi AS, Gilead Sciences, sebelumnya diuji pada Virus Ebola.

Kementerian itu juga mengizinkan obat anti-virus yang dikembangkan secara lokal yang disebut Virus Suppressing Factor (VSF) untuk mengobati pasien COVID-19 atas permintaan Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul.

Pasien COVID-19 diberikan dengan terapi yang disebut HzVSFv13, jenis injeksi VSF yang dikembangkan oleh perusahaan bio menengah ImmuneMed.

Sejauh ini, sebagian besar pasien coronavirus telah diberi perawatan untuk meringankan gejala mereka, sementara pasien yang parah diberi kombinasi obat flu dan Kaletra, obat anti-retroviral yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi global AbbVie Inc. dan digunakan untuk mengobati HIV.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya