Liputan6.com, Jakarta Untuk memastikan produk obat kimia, herbal maupun tradisional yang beredar di tengah pandemi COVID-19 terjamin aman, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memaparkan serangkaian proses uji pembuatan obat.
Proses ini juga bertujuan mengetahui efektivitas dan manfaat obat yang dibuat.
Advertisement
"Pertama-tama proses penelitian guna mencari molekul yang potensial untuk digunakan. Ini sebagai bahan pengembang obat dan vaksin," jelas Direktur Standardisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Zat Adiktif BPOM Togi Junice Hutadjulu saat dialog di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, kemarin (5/8/2020).
"Setelah mendapatkan molekul, dilakukanlah uji laboratorium untuk menetapkan karakterisasi serta spesifikasinya. Kalau sudah kelihatan ada potensi untuk manfaat dan keamanannya, akan pindah ke uji praklinis."
Uji praklinis dilakukan pada hewan. Melalui uji ini dibuktikan bahwa obat aman, sehingga dapat digunakan dalam uji pada manusia atau istilahnya uji klinis.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Tiga Fase Uji Klinis
Uji klinis obat terdapat tiga fase. Fase pertama untuk memastikan keamanan. Fase dua untuk memastikan efektivitas. Fase tiga untuk mengonfirmasi keamanan dan khasiat obat.
"Sedangkan untuk obat herbal, seperti jamu-jamu ya biasanya yang kita pakai berdasarkan bukti empiris. Jadi, bagaimana penggunaan jamu itu yang sudah dipakai sejak lama, sehingga memang sudah terbukti keamanan dan juga manfaatnya," tegas Togi.
"Obat herbal terstandar ini juga akan melalui uji praklinis. Sementara itu, ada obat fitofarmaka yang disebut Obat Modern Indonesia pun melalui uji klinis serupa."
Terkait obat tradisional yang beredar di pasaran, Togi menegaskan obat tersebut juga harus mendapatkan izin dari BPOM. Masyarakat juga diminta melakukan pengecekan pada kemasan, label, nomor izin edar, serta tanggal kedaluwarsa.
Apabila masih terdapat keraguan terhadap suatu produk, masyarakat dapat menghubungi contact center BPOM.
Advertisement