Kenangan Menteri Kelautan 2014-2019 Susi Pudjiastuti Merawat Ibunda Tercinta

Menteri Kelautan 2014-2019 Susi Pudjiastuti mengenang saat dirinya merawat ibunda tercinta.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 31 Agu 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2020, 11:00 WIB
Susi Pudjiastuti. (Foto: Instagram @susipudjiastuti115)
Menteri Kelautan 2014-2019 Susi Pudjiastuti mengenang saat dirinya merawat ibunda tercinta. Susi Pudjiastuti. (Foto: Instagram @susipudjiastuti115)

Liputan6.com, Jakarta Dengan mengenakan baju terusan berwarna hitam dan kacamata hitam tercantol di kepala, Susi Pudjiastuti menggendong seorang wanita lansia. Kira-kira berjarak lima meter lebih, ia menurunkan wanita lansia tersebut di kursi helikopter. Helikopter putih itu membawa wanita lansia dan Susi melintasi laut. Tampak dari atas helikopter, ombak kecil perlahan menyapu pantai.

Sebuah cuplikan video Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti di atas sempat viral pada 2014. Video mengharukan itu menyentuh hati publik Tanah Air. Wanita lansia yang digendong adalah (almarhumah) ibunda Susi sendiri, Hajjah Suwuh Lasminah. Ia mengakui peristiwa dalam video terjadi pada 2010 silam, jauh sebelum ia menjadi menteri kelautan dan perikanan.

 

“Sebelum menjabat sebagai menteri, bapak dan ibu saya sudah tidak ada (meninggal dunia). Video yang beredar itu tahun 2010, saya juga enggak ingat kalau ada videonya. Sebetulnya, saya tidak pernah tahu bahwa video itu ada. Setelah saya jadi menteri, videonya viral,” tutur Susi dalam dialog virtual Pahami Lansia, Bahagiakan Keluarga, ditulis Senin (31/8/2020).

“Waktu itu ibu saya masih bisa jalan (meski pelan-pelan dan dipapah). Tapi ya saya gendong karena jaraknya jauh (ke helikopter). Saya tidak sabaran orangnya dan ambil practical (praktis) saja.”

 

Sambil tersenyum, Susi menceritakan perjalanan merawat sang ibu yang terkena diabetes. Cara merawat pun belajar dari kakek dan neneknya: tinggal di satu rumah bersama dan merawat setiap hari.

Ada kakek dan nenek dari pihak ibu, yang mana selama hidup mereka berjualan kain, batik tulis, berlian, naik sepeda, dan masih bisa jahit sampai usia 78-an tahun. Pada usia 82 sampai 84 tahun, mereka mulai sakit-sakitan. 

Keduanya yang tinggal di Kutoarjo, Yogyakarta lalu pindah ke rumah Susi di Pangandaran, Jawa Barat. Walau menghabiskan waktu bersama, seringkali mereka ingin pulang. Merawat kakek-nenek dengan penuh kesabaran menjadi bekal Susi Pudjiastuti memberikan kasih sayang penuh kepada Lasminah, ibunya. 

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Ciptakan Kegembiraan

Intip Ragam Ekspresi Lucu Menteri Susi Pudjiastuti
Ups, salah ngomong saya (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Seiring usia yang menua, gula darah Lasminah, ibunda Susi sering naik. Susi pun menemani ibunya berobat ke dokter. Obat-obatan dari dokter cukup banyak diberikan, Namun, tantangan yang terjadi, Lasminah enggan minum obat untuk mengontrol gula darah.

“Waktu ibu saya mulai usia 80an, gula darahnya sering sering naik. Kami berobat ke dokter. Dari dokter banyak dikasih obat, tapi seringkali dia (ibu) umpetin obatnya, dibuang ke bawah sofa. Tiba-tiba gulanya naik tinggi lagi. Kadang saya marah dengan ibu, ‘Kalau ibu sakit kan nanti kita (sulit) tidak bisa sama-sama lagi. Lalu dia bilang, “Orang udah tua, sebentar lagi juga mati,” kenang Susi.

“Saya kadang agak kesel juga. Ya, namanya orang udah tua, masa kita mau marah (terus) kan tidak juga. Akhirnya, saya coba mengerti, apa itu diabetes dan segala macamnya. Cari informasi dokter dan lainnya.”

Setelah mencari informasi dokter yang tepat, Susi menemukan ada dokter lain yang memberikan obat hanya dua jenis saja. Pesan dokter bila kadar gulanya bagus, boleh tidak minum obat. Kemudian sering mengajak ibu jalan-jalan.

 

“Akhirnya, kami mengubah treatment yang tadinya taking care of everything, every food dipelototin (dicek hati-hati setiap makanan), diganti. Disediakan pengganti gula beneran, jadi gula yang sehat (gula khusus diabetes). Kemudian kasih makanan yang dia suka apa ya kita ikuti. Lalu ibu jadi enggak terlalu banyak ngomel malah lebih responsif dan kooperatif. Saya belajar dari kakek-nenek yang diperlakukan oleh orangtua saya biasa-biasa. Saya juga belajar memperlakukan ibu saya begitu.” ujar Susi.

“Ibu pun punya kegembiraan tersendiri. Kalau lagi kerja ya ibu duduk di sebelah saya, saya ngitung uang, dan bicara dengan customer juga ditemani ibu. Saya tidak tidak merasa bahwa ibu saya adalah sesuatu yang harusnya diumpetin atau yang dispesialkan banget.”

 

Ketika pada satu titik, ibunda Susi tidak bisa jalan, ada suster khusus yang membantu memandikannya. Lasminah juga sering diajak Susi jalan-jalan ke Batam. Terkadang ikut Susi dalam kegiatan sehari-hari. Agar sang ibu juga ada teman mengobrol, Susi mengundang teman-teman ibunya untuk arisan di rumah.

“Biasanya selesai dimandiin sama suster, ibu ikut saya jalani kegiatan. Kalau saya terbang ke mana gitu, ya ibu juga ikutan. Teman-teman ibu juga saya ajak ke rumah buat arisan. Mereka suka arisan sebulan sekali. Persoalannya, anggota arisan semakin berkurang karena banyak yang meninggal,” cerita Susi dengan nada sendu.

“Itu dilema juga.  Lama-lama tinggal enam orang. Setelah usia beliau 86 tahun tinggal 4-5 orang yang ikut arisan. Tapi saya coba undang lagi orangtua lainnya, seperti mantan karyawan pabrik ikan. Saya panggil, suruh nemenin ibu.”

 

Perlakukan Secara Normal

Susi Pudjiastuti dan Alvy Xavier
Susi Pudjiastuti dan keluarga (dok. Instagram @alvy_xavier/https://www.instagram.com/p/BsLRRmHnRf3/Putu Elmira)

Selama merawat Lasminah, Susi melihat ada satu kunci yang membuat sang ibu menjalani hari-harinya dengan baik: memperlakukan ibu sebagai kawan, bukan orang yang pesakitan. Mengajak untuk ikut mengobrol, makan bersama, bercanda dengan anak-cucu, dan berjalan-jalan dapat menjadi aktivitas menyenangkan. Sederhana dan praktis.

“Waktu ibu saya masih hidup, saya selalu taking care her. Tidak saya pisahkan, dia main dengan anak-anak, ngobrol dengan tamu saya. Tentunya, ada perubahan. Yang biasa minum obat tuh sebulan, mungkin tidak satu kali pun minum obat (gula darah terkontrol),” Susi menerangkan.

“Kadang jadi kami hanya tes kadar gula darahnya tiap 1 sampai 2 hari sekali. Palingan, kalau gula darahnya naik ya saya minta minum obat. Kalau makannya agak kurang hati-hati, lalu pas tes gula darah gitu naik. Kami bujuk minum obat, saya umpetin obatnya di dalam kue. Obat untuk kontrol gula darah hanya untuk emergency, kalau makannya enggak teratur. Obat diminum yang sebelum dan sesudah makan saja.”

Susi mengingat sewaktu ibunya masih muda, Lasminah menggeluti pekerjaan sebagai perias pengantin. Untuk membuat hati ibu terhibur, Susi terkadang membelikan perhiasan, tidak mahal.  Kini, lansia yang sering diajak Susi berjalan-jalan adalah adik dari bapak dan ibu. Yang satu berusia 78 tahun dan satunya 72 tahun. 

Mereka masih sehat dan pakai sepatu hak tinggi serta dandan. Susi mengajak keliling-keliling, sarapan di Pangandaran, makan siang di Yogyakarta, dan makan malam di Jakarta. Keduanya senang karena makan tiga kali sehari di tiga tempat berbeda dalam sehari. 

 

“Saya mencoba memberikan yang terbaik. Saya beliin sepatu hak tinggi, tas. Mereka senang hatinya. Suka katanya. Saya ketemu mereka rutin, mungkin ya tiga bulan sekali. Kadang setengah tahun sekali atau dua bulan sekali, tergantung waktunya sih. Intinya, saya pengen bilang, make them as normal as possible (sebisa mungkin perlakukan mereka--lansia--dengan normal),” tutur Susi dengan tersenyum.

“Jangan pula melakukan sesuatu atau apa-apa dibatasi. Jangan treat (rawat) mereka seperti pesakitan. Waktu itu ibu saya pikun sekali juga belum. Kadang-kadang ya belakangan, setahun terakhir dia agak sering lupa. Kalau seseorang datang namanya lupa, tapi ya kami anggap hal yang biasa.”

 

Hasil merawat ibunda membuahkan hasil, kadar gula darah terus stabil terus selama lima tahun terakhir. Minum obat dalam sebulan sama sekali tidak. Gula darah tidak pernah sampai 300 sampai 400, rata-rata 180-160 dan paling tinggi 240-260. Sosok Lasminah yang menemani Susi di tengah aktivitasnya membuat Susi nyaman. Ia juga senang ditemani sang ibu.

“Saya juga senang dan makin menikmati hari-hari bersama beliau. Tidak merasa beliau itu beban. Biasanya selesai dimandikan, ibu didudukin ruang tamu dan ya kami dan cucunya tanya dan mengobrol, ‘Uti (panggilan nenek) mau lihat film enggak? Mau lihat iPad ya. Uti mau lihat ini enggak, gitu aja,” lanjut Susi.

 

Teman Mengobrol

6 Momen Kebersamaan Susi Pudjiastuti dengan Anak dan Cucunya, Penuh Kehangatan
Susi Pudjiastuti dengan Anak dan Cucunya (Sumber: Instagram//susipudjiastuti115)

Serangkaian cara sederhana membuat sang ibu bahagia di usia tua diupayakan Susi. Ia kerap membelikan oleh-oleh kecil, daster, sprei warna-warni, dan permen atau biskuit. Aktivitas lain seperti membantu bagi-bagikan makanan pernah dilakukan. 

Di keluarga Susi biasa tiap 35 hari sekali (weton lahir dalam tradisi Jawa) mengadakan selamatan setiap hari lahir. Misal, Susi yang lahir Jumat pahing, setiap bulan tepat Jumat pahing, selamatan digelar. 

“Saya panggil anak-anak kecil di sekitar kampung. Ibu saya ikutan bagi-bagi makanan buat anak-anak. Ya, selamatan kecil-kecilan gitu, mirip ulang tahun yang tiap setahun sekali. Tapi ini yang weton, 35 hari sekali,” tutur Susi.

“Saya juga persilakan ibu ke pasar Senin-Kamis. Saya kasih uang buat belanja, nanti beliau terserah mau beli apa. Nanti pulang, ada aja yang dibeli, sapu, kain, dan lainnya. Di rumah sendiri, saya cukupkan membeli buku dan majalah. Majalah Femina dan Kartini. Ibu senang membaca majalah itu sampai usia 80an tahun”

Sebelum menutup cerita kenangan hari-hari merawat ibunda, Susi menekankan, bagi siapapun yang merawat lansia di rumah, diupayakan membuat mereka menjalani kehidupan seperti normal. Kita perlu memerhatikan, apa yang membuat lansia senang dan bahagia. Ketika ada suatu permasalahan, emosi, marah atau mutung (ngambek), beri perhatian dengan sesuatu yang membuatnya kembali bersemangat.

“Ya, saya suka beli cookies dan permen itu disimpan. Jadi, kalau ibu saya, misalnya, lagi marah sama saya. Saya berikan itu, ‘Ini ada oleh-oleh cookies dan permen.’ Atau ya main sama cucu,” tawa Susi. 

Lebih akrab dengan sang ibu yang sudah lansia juga dirasakan Susi. Tatkala ibunya menemani Susi bekerja dan bertemu dengan tamu, ada saja komentar yang menjadi bahan obrolan menarik.

“Ibu saya kadang menanggapi, ‘Itu tamu dari mana.’ Kadang beliau memerhatikan baju yang dikenakan tamu saya. Kami seperti bergosip, kayak temen gitu. Saya pribadi merasa ada temen ngobrol yang saya rasakan aman dan dekat. Sebaiknya kita practical saja sebagai anak mengurus orang tua gitu,” tutup Susi.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya