Liputan6.com, Jakarta Stigma masih menjadi salah satu tantangan dalam penanganan virus corona. Kondisi ini tak jarang dialami penyintas COVID-19 yang berada di masyarakat yang kekurangan informasi, serta masih kurang memahami penyakit tersebut.
Spesialis Kedokteran Jiwa Hervita Diatri, Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas mengatakan, stigma seringkali adalah sesuatu yang eksternal.
Baca Juga
Jelang Laga Versus Jepang di GBK, Bintang Timnas Indonesia Thom Haye: Atmosfer Bermain di Kandang Itu Gila
Profil Memikat Marciana Rathna, Istri Eliano Reijnders Bintang Andalan Timnas Indonesia
Potret Phyadeth Rotha, Gadis Asal Kamboja yang Dulu Pernah Viral karena Dijodohkan dengan Pemain Timnas Indonesia
"Namun justru yang paling besar adalah stigma internal, yang dibangun karena eksternal. Jadi karena merasa orang akan berpikir begitu, maka saya mengembangkan sendiri antisipasi, padahal itu tidak benar," kata Hervita dalam sebuah dialog virtual dari Graha BNPB, Jakarta beberapa waktu lalu, ditulis Jumat (1/1/2021).
Advertisement
Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk benar-benar memahami mengenai COVID-19 itu sendiri. Ia menegaskan bahwa infeksi virus corona bisa diobati, apalagi jika dikenali sejak dini, dan ditambah dengan disiplin protokol kesehatan.
"Sehingga mengubah stigma itu menjadi sebuah upaya yang berdaya untuk mencegah," kata dokter dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia ini.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Minta Bantuan Tokoh Masyarakat
Menurut Hervita, penyintas COVID-19 tidak bisa berbuat banyak ketika dirinya mendapatkan stigma dari orang lain. Hal ini karena sifatnya yang ada di luar dirinya.
"Tetapi kita tahu itu terjadi karena ketidaktahuan," kata Hervita.
Meski begitu, Hervita menilai bahwa meminta bantuan kepada tokoh-tokoh yang dekat dengan masyarakat, untuk mengkomunikasikan mengenai kondisi yang dialami penyintas COVID-19, bisa jadi salah satu cara yang dilakukan.
"Karena kalau saya sendiri yang ngomong akan susah kan untuk didengar oleh mereka," kata Hervita.
Menurutnya, apabila kalau penyintas dapat meminta bantuan dari orang-didengar di masyarakat untuk menceritakan, lalu kemudian dirinya "ikut berdaya untuk membantu memperkenalkan, dan mau membantu menjaga" maka ia tidak harus terjebak dalam stigma tersebut.
"Jadi sekali tepuk dua nyamuk. Saya berdaya, saya pulih secara mental dari kondisi terpuruk ini, yang kedua saya memberikan informasi."
Advertisement