Capai 1 Juta, Mengapa Kasus COVID-19 di Indonesia Masih Tinggi?

Sejak pandemi COVID-19 melanda di Indonesia, belum pernah terjadi penurunan kasus secara signifikan. Mengapa begitu?

oleh Benedikta Desideria diperbarui 26 Jan 2021, 20:38 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2021, 16:11 WIB
FOTO: Kesibukan Tim Medis Bawa Pasien COVID-19 ke Wisma Atlet
Petugas jaga mengecek data pasien COVID-19 yang dibawa petugas medis di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Pemerintah menyiapkan 2.700 tempat tidur di RSD Wisma Atlet untuk merawat pasien COVID-19 dengan kondisi sedang dan ringan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara seperti Selandia Baru, Taiwan, Malaysia bahkan China terdampak COVID-19 tapi bisa bangkit. Setelah kasus naik, dalam beberapa waktu kasus di negara tersebut bisa kembali rendah bahkan tidak ada kasus lokal meski beberapa waktu ada kasus lagi.

Sementara itu, di Indonesia, nampaknya belum ada tanda-tanda kasus harian COVID-19 turun signifikan. Sesudah libur Natal dan Tahun Baru 2021, kasus harian sering di atas 9 ribu bahkan 14 ribu. Hari ini Selasa, 26 Januari 2021, diprediksi COVID-19 mencapai angka psikologis sejuta kasus.

Menurut pakar kesehatan masyarakat, Hermawan Saputra, negara-negara tersebut sudah mampu mengontrol pandemi. Sehingga kerugian dan mitigasi sudah mereka ukur atau perkirakan. Negara-negara tersebut pun sudah mengukur seberapa jauh serangan gelombang kedua atau ketiga COVID-19.

"Sementara kita, gelombang satu kita ini masih panjang, masih jauh. Puncak kurva kita terus naik, karena kasus kita tidak terkendali," kata Hermawan kepada Health Liputan6.com lewat sambungan telepon.

"Mudah-mudahan kita tidak terhempas dan karam," Hermawan berharap.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Juga Video Berikut

Kombinasi Berbagai Faktor

Negara-negara yang mampu mengendalikan COVID-19 seperti Selandia Baru, Korea Selatan,Jepang dan beberapa negara Eropa menerapkan lockdown. Dengan lockdown, mereka melewati puncak kasus. Jika pun ada kasus-kasus baru sifatnya ikutan yang bakal bisa dikendalikan.

Sementara di Indonesia, menurut Hermawan, ada beberapa faktor yang membuat kasus tetap tinggi. Perpaduan antara angka testing yang rendah, pengabaian protokol, tidak disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan oleh masyarakat. Lalu, tidak ada pembatasan serta tidak ada penegakan yang tegas serta lemah dalam kapasitas testing dan tracing.

"Semua itu menyatu, sehingga kita lihat hari ke hari angkanya naik terus," kata Hermawan.

 

Bukan Lockdown tapi PSBB Nasional

PSBB Nasional Melihat kasus harian yang terus tinggi pascalibur Natal dan Tahun Baru, serta beberapa rumah sakit rujukan COVID-19 penuh, Hermawan menyarankan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

PSBB nasional bukan lockdown, menurut Hermawan, yang cocok digunakan oleh pemerintah Indonesia. Lockdown, memiliki konsekuensi yang luar biasa dan tampaknya pemerintah belum siap dengan itu.

"Lockdown itu berarti pemerintah harus mengganti kerugian masyarakat. Pemerintah tidak siap untuk itu. Yang paling tepat dan menjadi pilihan sebenarnya PSBB," tandasnya.

 

 

Infografis

Infografis Kombinasi 3M Turunkan Risiko Tertular Covid-19 hingga 99,9 Persen. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Kombinasi 3M Turunkan Risiko Tertular Covid-19 hingga 99,9 Persen. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya