Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan, pemahaman kepada masyarakat perlu dibangun sebelum sanksi vaksinasi diterapkan di lapangan.
Salah satu yang menjadi pertanyaan publik yakni terkait efek samping usai vaksinasi COVID-19, yakni Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Dalam hal ini sebagian publik mempertanyakan bagaimana pemerintah menjamin bila ada kasus KIPI.
Advertisement
"Soal divaksin, masyarakat juga mempertanyakan dampak Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Nah, sudah ada proses yang disiapkan oleh pemerintah. Di sini ada yang namanya Komite Nasional KIPI," terang Ede saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (15/2/2021).
"Ada intervensi yang telah dilakukan Komnas KIPI, sudah terbukti dalam penanganan kasus penyakit menular dan dikerjakan baik. Untuk vaksin sendiri, ada tahap praklinik dan uji klinik fase 1, 2, dan 3 sebelum lolos masuk produksi. Misalnya, vaksin enggak lolos uji fase 2, ya enggak bisa dilanjutkan uji fase 3."
Pemahaman mengenai vaksinasi dan uji klinik vaksin COVID-19 dinilai belum menyasar ke seluruh lapisan masyarakat sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru.
"Pemahaman ini yang enggak dimiliki masyarakat umum. Kalau disebut-sebut vaksin akibatkan kelumpuhan, yang jelas mungkin orang yang bersangkutan ada penyakit lain. Orang yang vaksinasi COVID-19 pun harus dipastikan sehat," imbuh Ede.
Â
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Sanksi Vaksinasi COVID-19 sebagai Upaya Terakhir
Pemahaman tentang vaksinasi dan vaksin COVID-19 harus diberikan dengan benar. Apalagi menyangkut penularan virus Corona, yang mana jika ada orang menolak divaksin, lalu dia tertular maka akan menjadi sumber penularan virus Corona.
"Kecuali orang yang bersangkutan terjamin sehat dan memeriksakan diri dengan benar, menjalankan perilaku hidup bersih sehat, dan menjaga kesehatan. Misalnya, sudah tidak divaksin, lantas enggak memerhatikan kesehatan, terpapar COVID-19, bisa jadi potensi penularan kepada orang lain" tambah Ede.
"Barangkali hal ini yang jadi dasar dikeluarkannya sanksi. Tapi sanksi itu upaya terakhir. Ya, ada aturan pasal dan ayat sanksi vaksinasi sah-sah saja, tapi enggak bisa langsung diterapkan. Utamanya, edukasi melibatkan semua orang."
Ede mencontohkan, para tokok publik dapat memberikan edukasi kepada masyarakat. Terlebih lagi bagi mereka yang sudah divaksin COVID-19. Bahwa usai vaksinasi, tidak ada efek samping signifikan dan titer antibodi terbentuk.
"Ibaratnya begini, tokoh-tokoh yang dianggap panutan masyarakat kan ada ya. Ada juga yang ikut divaksin. Bisa juga edukasi, misal, dites ternyata antibodi terbentuk tinggi. Berarti vaksinasi berhasil. Model seperti in bisa meyakinkan masyarakat secara persuasif," ujarnya.
"Masyarakat melihat manfaat vaksinasi. Dengan demikian, orang yang tadinya menolak vaksinasi bisa berubah pikiran. Intinya, edukasi yang mengarah mendapatkan manfaat yang benar soal vaksin. Jangan sampai yang ada di pikiran, 'Awas, kalau enggak divaksin, nanti dihukum.'"
Advertisement