Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) tengah melakukan penelusuran guna menemukan keterkaitan antara meninggalnya Trio Fauqi Virdaus (22) dengan pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca.
Komnas KIPI belum memiliki cukup bukti untuk mengaitkan peristiwa tersebut. "Saat ini sedang dilakukan penelusuran untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk mengaitkan kejadian ikutan pascaimunisasi dengan imunisasi yang diberikan," kata Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari pada Antara, di Jakarta, Selasa, 11 Mei 2021.
Baca Juga
Hindra mengatakan, gejala yang mungkin timbul pascaimunisasi memiliki beragam pemicu. Bisa disebabkan oleh kandungan vaksin yang mengalami kecacatan produk hingga kekeliruan prosedur ketika penyuntikan.
Advertisement
Hindra mencontohkan vaksin Rotavirus yang dulu pernah menyebabkan invaginasi (bagian usus atas terlipat masuk ke bagian yang lebih bawah).
"Dulu ada vaksin Rotavirus menyebabkan invaginasi, tapi sekarang sudah diubah produknya jadi generasi berikutnya dan sekarang sudah aman. Atau kekeliruan prosedur, misalnya disuntikkan di dalam otot, ternyata suntiknya terlalu dangkal, itu bisa juga sebabkan KIPI," katanya, dilansir Antara.
Mengenai apakah kejadian yang dialami warga Buaran, Jakarta Timur itu terkait pembekuan darah, Hindra mengatakan Komnas KIPI masih mengumpulkan bukti.
"Belum cukup bukti, namun tidak dapat disingkirkan," katanya.
Â
Simak Juga Video Berikut Ini
Komnas KIPI Telusuri Faktor Kecemasan
Prinsip kedua yang tengah ditelusuri Komnas KIPI adalah faktor kecemasan yang dialami almarhum yang tidak terkait imunisasi. "Prinsip keduanya adalah kecemasan, namun gejala yang diperlihatkan ada perbedaan," katanya.
Reaksi kecemasan itu menurut Hindra tidak berhubungan dengan kecacatan produk, isi vaksin, atapun kekeliruan prosedur. Sedangkan berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 20 Desember 2019, reaksi kecemasan dikelompokkan dalam Imunization Stress-Related Respons atau gejala dan tanda yang muncul akibat kecemasan.
"Ini tidak berhubungan dengan kecacatan produk, tidak berhubungan dengan isi vaksin, bahkan kekeliruan prosedur. Respons ini merupakan reaksi dari nervous fanboost, reaksinya berupa napas cepat berhubungan dengan reaksi psikiatrik yang berhubungan dengan stres," jelasnya.
Hindra mengatakan, faktor stres muncul karena kekuatan psikologi orang berbeda, kerentanan berbeda, pengetahuan tentang vaksin juga berbeda dan persiapan serta konteks sosial berbeda pada setiap individu.
"Misalnya saat mau ujian lisan, kita ke kamar mandi bolak-balik. Atau dipanggil atasan, kita berdebar. Bisa juga diputuskan pacar, tidak ada nafsu makan. Reaksi ini sama dengan imunisasi," katanya.
Respons stres terkait imunisasi bisa berupa stres akut, reaksi 'vasovagal' atau dissosiative nerological.
Stres akut biasanya ditandai jantung berdebar, lalu kesemutan, rasa sakit dada, melayang, pusing, sakit kepala dan bisa berulang. Kadang terjadi pingsan, kejang, hingga bengong.
Reaksi 'vasovagal' ditunjukkan dengan rasa pusing namun reaksinya ringan. "Itu akibat dari pelebaran pembuluh darah dan denyut jantung menurun. Pingsan bisa 20 detik atau beberapa menit, terus langsung sadar dan baik," jelasnya.
Sementara dissosiative nerological symptom reaction mirip seperti mengalami kelumpuhan, lemas atau gerakan aneh, susah bicara atau kejang. Situasi ini terjadi selama beberapa hari atau jam setelah imunisasi.
Â
Advertisement