Liputan6.com, Jakarta Herd Immunity atau kekebalan kelompok ramai menjadi isu terkini sejak munculnya pandemi COVID-19. Sebenarnya istilah ini bukan baru. Istilah ini telah digunakan sejak 1923, seperti tertulis dalam jurnal ilmiah the Lancet (A history of herd immunity).
Kala itu, Profesor patologi di Royal Naval Medical School Sheldon Dudley mengetahui epidemi difteri di Sekolah Rumah Sakit Royal di Greenwich. Ia lalu menerbitkan laporan untuk Medical Research Council tentang difteri dan demam berdarah, infeksi droplet, dan imunisasi difteri. Dalam sebuah artikel tahun 1924 di The Lancet, Dudley menerapkan istilah "kekebalan kelompok" pada manusia.
Baca Juga
Namun kekebalan kelompok baru terkenal pada 1950-an dan 1960-an ketika vaksin baru muncul dan berbagai kebijakan kesehatan masyarakat diterapkan untuk menanggulangi penyakit.
Advertisement
Masyarakat pun menghadapi masalah yang sama dengan COVID-19 pada tahun 2020. Sejumlah pertanyaan muncul di benak para ahli seperti apakah droplet (tetesan) yang menular dapat dikendalikan? apakah mungkin manusia bisa bertahan tanpa vaksin atau terapeutik? atau cukup dengan menjaga jarak sosial dan kebersihan saja.
Herd Immunity disebut bisa tercipta dengan dua cara yakni menyuntikkan vaksinasi atau obat penangkal virus. Kedua, dengan cara alami yaitu dengan menciptakan lingkungan dengan banyak orang terpapar virus, sehingga dalam masyarakat tersebut memiliki tingkat kekebalan yang baik dan dengan sendirinya dan bisa menangkal penyebaran virus.
Pada kasus virus Covid-19, sampai saat ini memang belum ditemukan vaksin atau obat yang dapat menangkal penyebarannya. Jika mengikuti cara pertama akan sulit karena jumlah vaksin sangat terbatas. Sedangkan cara kedua pun, akan butuh waktu lama dan memakan korban sakit dan meninggal sehingga menyebabkan biaya kesakitan menjadi tinggi.
Hingga studi pada bulan Juni dan Juli meragukan prospek konsep kekebalan kelompok ini. Para ahli dalam the Lancet menyimpulkan bahwa kekebalan kelompok ini sangat tidak etis, juga tidak dapat dicapai.
Simak Video Berikut Ini:
Menurut pakar
Mantan Direktur WHO 17 tahun dan Visiting Professor at the Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore Professor Tikki Pangestu mengatakan, kekebalan kelompok ini juga menurutnya hanya mitos atau ilusi.
"Butuh waktu lama untuk mencapai (kekebalan kelompok) ini jadi sulit untuk menghentikan pandemi. Kita harus mencoba berdamai dengan virus. Yaitu dengan vaksinasi," katanya di webinar Diaspora dan Gerakan Pakai Masker, Sabtu (22/5/2021) malam.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Prof. dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D pun mengatakan konsep Herd Immunity atau kekebalan kelompok ini bagaikan suatu keajaiban yang ada di negeri dongeng.
"Tidak akan terjadi, tidak mungkin orang semua mau divaksinasi. Di luar negeri saja sepertiganya menolak, begitu pun di Indonesia. Ditambah lagi stok vaksin terbatas," katanya.
Prof Pandu mengatakan, sebagian vaksin Amerika seperti Moderna dan Pfizer diklaim bisa mencegah transmisi-durasi infeksi jauh lebih pendek sehingga mampu mencegah penularan COVID-19, namun virus corona ini ternyata bermutasi dengan mudah dan cepat.
Sedangkan di Indonesia, kata dia, vaksinasi dilakukan bukan untuk pengendalian pandemi tapi untuk pemulihan ekonomi. "Mereka menghitung alokasi vaksin mencapai Herd Immunity, itu tidak mungkin tercapai. Konsep itu sangat imajiner dan dihitung matematika saja belum tentu bisa," katanya.
Dalam buku epidemiologi, herd immunity bahkan dikatakan unsciencetific dan mitos. "Jangan megandalkan herd immunity untuk mencapai 85 persen kekebalan kelompok, nggak mungkin karena Indonesia nggak punya pabrik vaksin, wilayah cakupannya juga luas."
"Untuk mengedalikan pandemi 40 persen saja, fokus pada penanggulangan pandemi, seperti pemberian vaksinasi pada lansia," katanya.
Pandu menyarankan untuk tidak membuang waktu dengan memberikan vaksin pada setiap umur. "Wasting time, vaksinasi pada usia produktif nggak ada manfatanya. Begitu ada lonjakan kasus, penduduk usia lansia dan komorbid inilah yang jadi korbannya. Dari 21 juta lansia yang harus divaksin, baru berapa sekarang. Kita ini bukan mau meratakan pembangunan, mau mengendalikan pandemi."
Kenapa lansia harus prioritas, lanjut Pandu. Menurut dia, kebanyakan lansia 60 tahun ke atas yang terinfeksi COVID-19 dirawat di rumah sakit. Dan 5 persennya meninggal dunia. "Jika lansia ini masuk rumah sakit, maka biayanya tinggi. Sehingga vaksinasi sangat berdampak buat mereka."
Prof Tikki menambahkan, Herd immunity ini tidak akan mengahiri pandemi, cara paling aman untuk menekan penularan COVID-19 adalah dengan vaksinasi global dan terus menerus prokes.
"Jangan pikir vaksin the only way untuk aman dari virus. Sambil memperluas cakupan vaksin, dibarengi juga dengan mempraktekkan prokes (memakai masker, jaga jarak aman, menghindari kerumunan, sering cuci tangan, dsb)," katanya.
Dan penting juga meningkatkan kepercayaan kepada vaksin dan pemerintah yang menekankan manfaat vaksinasi. "Caranya yaitu melalui komunikasi yang baik, seperti (1) atasi misinformasi; (2) Beri highlight pada manfaat vaksinasi serta risikonya; (3) Memperkuat solidaritas. Saya bersimpati sekali kepada mereka yang membuat kebijakan. Karena mereka ini harus mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak komplit dan sering berubah. Jadi mereka harus memiliki kemampuan politis dan komitmen yang kuat," pungkasnya.
Advertisement