Liputan6.com, Jakarta Kebanyakan penyintas pelecehan seksual tidak langsung menceritakan kejadian tidak menyenangkan yang dialami. Umumnya penyintas pelecehan seksual memendam sendiri pengalaman pahit tersebut dalam waktu berbulan-bulan hingga hitungan tahun.
Menurut psikolog dari Yayasan Pulih, Nirmala Ika Kusumaningrum, ada beberapa alasan mengapa para penyintas pelecehan atau kekerasan seksual tidak langsung speak up salah satunya adalah stigma masyarakat.
Baca Juga
“Kita harus lihat masyarakat, ketika ada perempuan speak up masyarakat Indonesia itu cenderung menyalahkan korban,” kata Nirmala kepada Health Liputan6.com, Kamis (10/6/2021).
Advertisement
Ia memberi contoh kasus saat seorang perempuan dilecehkan di transportasi umum. Ketika perempuan tersebut speak up, hal pertama yang dicari masyarakat adalah pakaian seperti apa yang dipakai perempuan itu dan pukul berapa ia menggunakan transportasi tersebut, bukan simpati atau empati.
“Ini membuat si korban menjadi disalahkan.”
Simak Video Berikut Ini
Peraturan Daerah yang Kurang Memihak Perempuan
Selain stigma masyarakat masih keliru terhadap penyintas pelecehan seksual, kondisi semakin diperparah dengan adanya undang-undang daerah di Indonesia yang semakin merendahkan perempuan.
Salah satu undang-undang daerah yang kurang memihak perempuan menurut Nirmala adalah Qanun Aceh.
Dalam undang-undang itu, pria yang melakukan pemerkosaan atau pelecehan akan disumpah di bawah Al-Quran beberapa kali. Jika pria itu mengatakan bahwa dia tidak melakukan hal tersebut pada saat disumpah maka ia akan dianggap tidak berbohong dan bebas.
Sedang, perempuan yang melaporkan akan dianggap bersalah karena mengakui adanya perzinahan.
“Makanya banyak perempuan banyak memilih untuk diam karena sebenarnya secara support negara dan masyarakat kita belum mendukung termasuk polisi-polisi yang belum terlatih.”
Advertisement
Proses Hukum yang Menyakitkan
Alasan berikutnya seorang penyintas kekerasan seksual enggan speak up adalah anggapan bahwa kejadian tersebut adalah aib yang tidak boleh diungkapkan. Di sisi lain, proses hukum bagi para penyintas cenderung menyakitkan.
“Mereka bolak-balik harus rekonstruksi, bolak-balik ditanya, dan dengan alasan untuk mendapatkan fakta, pertanyaannya sering kali menyudutkan.”
“Makanya akhirnya banyak korban pelecehan seksual apalagi yang sampai pemerkosaan memilih untuk diam dan jika terjadi kehamilan yang diungsikan adalah perempuan, dalam tanda kutip disembunyikan,” tutup Nirmala.
Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021
Advertisement