Liputan6.com, Jakarta Anda mungkin salah satu orang yang sering mengalihkan emosi marah dengan melakukan banyak aktivitas. Seperti berolahraga, menonton film, dan sebagainya. Hal tersebut ternyata memang ada hubungannya, lho.
Penting untuk mengingat bahwa sebenarnya selalu mengalihkan emosi lewat ragam aktivitas bukanlah cara penyelesaian yang baik. Cara tersebut dianggap hanya sementara karena berfungsi untuk mengalihkan, bukan menyelesaikan emosi.
Baca Juga
"Orang cenderung meredam kemarahan dengan melakukan banyak aktivitas untuk membuat dia lupa. Misalnya dia olahraga, wah lagi marah, aku lari nih sampe capek. Tapi itupun tidak menyelesaikan," ujar pendiri Spirit of Universal Life (SOUL) Bunda Arsaningsih dalam live Instagram bersama Liputan6.com pada Kamis, 16 September 2021.
Advertisement
Menurut Arsaningsih, marah masuk dalam kategori energi psikis, bukan fisik. Dalam proses untuk meredamnya pun ternyata dibutuhkan kesadaran secara psikis juga.
"Batinnya yang didamaikan, bukan fisiknya. Oleh karena itu ini proses energi. Pada jaman dulu, banyak orangtua yang mengatakan kalau lagi marah itu ngelus dada saja. Saya berpikir, bagaimana dengan marah itu dengan ngelus dada saja kok bisa hilang," kata Arsaningsih.
Ternyata mengelus dada memang dianggap dapat mengaktifkan cakra pada jantung manusia untuk lebih aktif. Ketika menyentuh dan mengelus bagian dada, maka kemarahan bisa mereda. Amarah yang muncul pun tidak jadi untuk meledak saat melakukan proses ini.
Melibatkan spiritualitas
Arsaningsih menjelaskan, proses mengolah emosi marah juga tidak bisa jika hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri. Dibutuhkan tingkat spiritualitas yang lebih dalam untuk meredam emosi, sebelum kemudian dapat memaafkan dengan ikhlas.
"Kalau kita mau benar-benar bersih dari energi kemarahan, kita membutuhkan kekuatan yang berpusat di alam ini yaitu kekuatan Tuhan. Tanpa melibatkan kekuatan Tuhan dalam proses ini, marah ini akan sulit terbersihkan," ujar Arsaningsih.
Sehingga untuk bisa benar-benar meredam emosi dan damai, seseorang perlu terhubung dengan kekuatan dalam dirinya yakni kekuatan spiritualitas. Proses penerimaan pun dianggap dapat berjalan dengan lebih mulus.
"Kita perlu terhubung dengan kekuatan Tuhan. Menghadirkan Tuhan di dalam diri, ikhlas menerima, kemudian menyadari tidak ada orang yang sempurna, saya memaafkan. Maka proses memaafkan akan berjalan dengan lebih dalam," kata Arsaningsih.
Arsaningsih menambahkan, kekuatan diri sendiri tidaklah cukup untuk sepenuhnya memaafkan sesuatu. Apalagi dengan persoalan yang sangat berat bagi seseorang. Maka dari itu, kekuatan yang lebih besar lebih dibutuhkan dalam proses ini.
"Kalau kita marah, bayangin orangnya saja jengkelnya setengah mati. Karena power kita tidak mencukupi untuk memaafkan. Orang yang memaafkan membutuhkan power yang besar karena energi harus mengalir pada orang yang kita maafkan," ujarnya.
Advertisement