Studi: Trauma Masa Kecil Bisa Pengaruhi Keraguan untuk Mendapat Vaksin

Orang-orang yang tetap ragu untuk mendapatkan vaksin COVID-19 mungkin karena ada hubungannya dengan peristiwa traumatis di masa kecil, tulis studi terbaru

oleh Fitri Syarifah diperbarui 27 Feb 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2022, 11:00 WIB
Vaksinasi booster untuk lansia di Surabaya. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)
Vaksinasi booster untuk lansia di Surabaya. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Orang-orang yang tetap ragu untuk mendapatkan vaksin COVID-19 mungkin karena ada hubungannya dengan peristiwa traumatis di masa kanak-kanak yang merusak kepercayaan, sebagaimana yang studi baru temukan.

Dilansir dari WebMD, studi yang dipublikasikan secara online di jurnal BMJ Open menunjukkan seberapa umum trauma masa kanak-kanak secara signifikan. Sementara penelitian juga mengaitkan peristiwa traumatis di masa kanak-kanak yang mempengaruhi keraguan mendapat vaksinasi.

Penulis mencatat bahwa keragu-raguan atau penolakan untuk mendapatkan vaksin meningkat seiring dengan jumlah trauma yang dilaporkan, yang menurut temuan studi sampai 10% orang di beberapa negara yang melaporkan punya trauma.

Kemudian, juga penulis menemukan keragu-raguan 3 kali lebih tinggi di antara orang-orang yang pernah mengalami empat atau lebih jenis trauma masa kanak-kanak dibandingkan mereka yang tidak melaporkan peristiwa traumatis apa pun. Pengalaman traumatisnya bisa dari kekerasan dalam rumah rangga, penyalahgunaan zat di rumah, atau pengabaian.

Mark A. Bellis, PhD, dari Bangor University di Inggris, salah satu penulis penelitian, melaporkan tingkat trauma yang lebih tinggi terkait dengan keraguan terhadap vaksin yang lebih tinggi, meskipun itu bukan satu-satunya alasan orang memilih untuk tidak mendapatkan vaksinasi.

Namun, keterkaitan yang mereka temukan mungkin memiliki pesan kunci untuk dokter dan profesional kesehatan lainnya.

Menurut Bellis, informasi trauma bisa membantu dokter dalam memahami bagaimana kesulitan masa kanak-kanak seperti itu dapat memengaruhi orang mendiskusikan vaksin, atau bahkan dalam memahami penolakan terhadap masalah medis yang kompleks, hingga membutuhkan kepercayaan yang cukup besar.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Makin Banyak Trauma, Makin Kurang Percaya

Penulis penelitian menggunakan tanggapan terhadap survei telepon orang dewasa di Inggris yang diambil antara Desember 2020 dan Maret 2021, ketika pembatasan COVID-19 diberlakukan. Dari 6.763 orang yang dihubungi, 2.285 memenuhi semua kriteria dan menjawab semua pertanyaan dan dimasukkan dalam analisis akhir.

Survei tersebut menanyakan tentang sembilan jenis pengalaman masa kanak-kanak sebelum usia 18 tahun, termasuk: orang tua yang berpisah; pelecehan fisik, verbal, dan seksual; paparan kekerasan dalam rumah tangga; dan tinggal dengan seseorang yang memiliki penyakit mental, penyalahgunaan alkohol dan/atau obat-obatan, atau yang dipenjara. Itu sudah termasuk informasi detail pribadi dan kesehatan jangka panjang.

Sekitar setengah dari responden mengatakan mereka tidak pernah mengalami trauma masa kecil. Dari mereka yang mengalaminya, satu dari lima mengatakan mereka pernah mengalami satu jenis, 17% melaporkan dua hingga tiga jenis, dan 10% melaporkan empat atau lebih.

Menurut penulis, prevalensi pengalaman masa kanak-kanak ini konsisten dengan survei populasi lainnya, termasuk yang dilakukan secara tatap muka.

Mereka juga menyelidiki tingkat kepercayaan dan preferensi untuk peraturan kesehatan yang berbeda.

Orang dengan lebih banyak trauma masa kanak-kanak lebih cenderung memiliki kepercayaan yang rendah pada informasi COVID-19 dari pemerintah.

Sedangkan sosiodemografi dan riwayat penyakit kronis atau infeksi COVID-19, studi tersebut menunjukkan tidak ada keterkaitan secara signifikan dengan kepercayaan yang rendah.

Orang-orang yang melaporkan jumlah trauma yang lebih tinggi juga lebih cenderung mengatakan bahwa mereka merasa dibatasi secara tidak adil oleh pemerintah. Orang-orang dengan empat atau lebih pengalaman dua kali lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka merasa dibatasi secara tidak adil dan ingin aturan seperti masker wajib dihentikan.

Selain itu, orang dengan empat atau lebih jenis trauma hampir dua kali lebih mungkin mengabaikan pembatasan pandemi dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.

 


Kehilangan Kendali

"Pengalaman traumatis masa lalu dapat mempengaruhi seseorang untuk menghindari hal-hal yang mengingatkan mereka akan trauma itu. Penghindaran ini melindungi mereka dari mengalami kembali gejala dan perilaku negatif yang mengikutinya. Tapi masih belum diketahui apakah ini menghasilkan keraguan akan sesuatu yang akan bermanfaat bagi kesehatan mereka," kata Consuelo Cagande, MD, direktur program asosiasi senior di Children's Hospital of Philadelphia.

Ia menyebutkan batasan dalam penelitian seperti menggunakan pengalaman masa kanak-kanak yang dikaitkan dengan kemungkinan perilaku negatif di masa depan ini, bisa saja orang-orang memang benar masih mengingatnya dengan jelas atau bisa juga salah mengingat atau salah melaporkannya.

Cagande mengatakan bahwa ketakutan akan kehilangan kendali mungkin menjadi faktor lain yang berperan karena harus mengikuti pembatasan, seperti karantina dan penggunaan masker, jarak sosial, atau vaksinasi yang diamanatkan.

Sehingga baginya penting untuk memahami alasan seseorang ragu-ragu terhadap vaksin dan mengajaknya dengan bantuan komunitas untuk membantu mereka percaya dan merasa aman.

 

Infografis Anak Muda Sayangi Lansia, Ayo Temani Vaksinasi Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Anak Muda Sayangi Lansia, Ayo Temani Vaksinasi Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya