Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memprediksi Indonesia akan memasuki fase endemi COVID-19 tiga bulan mendatang. Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono, menilai, prediksi tersebut terlalu terburu-buru.
"Terlalu cepat lah kalau tiga bulan," katanya saat dihubungi merdeka.com pada Rabu, 23 Maret 2022.
Baca Juga
Menurut Tri situasi pandemi COVID-19 baru bisa dilihat pada enam bulan mendatang. Pernyataan ini merujuk pada jarak gelombang kedua dan ketiga pandemi di Tanah Air.
Advertisement
Gelombang kedua mulai terjadi Juni hingga Juli 2021. Sementara gelombang ketiga COVID-19 mulai Januari 2022.
"Ada jarak dari gelombang kedua ke ketiga itu enam bulan. Jadi, kita akan evaluasi enam bulan. Harusnya begitu. Enam bulan, lah," ujarnya.
Pengendalian COVID-19 Saat Ini Kurang Hati-Hati
Tri mengatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam mengendalikan COVID-19 saat ini kurang hati-hati. Dia mengambil contoh, pemerintah membebaskan penonton MotoGP Mandalika 2022 dari kewajiban tes PCR atau antigen, dengan syarat sudah mendapatkan vaksinasi lengkap.
Padahal, epidemiolog sudah menyarankan untuk tetap mewajibkan tes PCR atau antigen.Tri menegaskan bahwa kebijakan membebaskan tes PCR atau antigen sangat berisiko memicu lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia.
Dia, mengingatkan, meski antibodi COVID-19 penduduk di Indonesia sudah mencapai 86,6 persen, lonjakan masih bisa terjadi. Apalagi jika muncul varian baru COVID-19 yang bisa menurunkan efikasi vaksin dan menghindari antibodi.
"Gelombang ketiga menunjukkan varian baru itu mengancam kita. Vaksinasi dan infeksi tidak ada manfaatnya kalau variannya itu benar-benar baru. WHO mengatakan itu karena ada Deltacron, gabungan antara Delta dan Omicron," dia menegaskan.
Advertisement
IDI Prediksi Tidak Lama Lagi RI Masuk Endemi
Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban memperkirakan tidak lama lagi Indonesia akan memasuki fase endemi COVID-19.
“Tidak akan lama lagi. Sekitar tiga bulan. Semoga,” katanya melalui akun Twitter @ProfesorZubairi yang telah diizinkan untuk dikutip merdeka.com, Selasa (22/3).
Dia, menyebut, ada sejumlah faktor yang berperan penting menentukan situasi menuju endemi.
Di antaranya, tingkat rawat inap dan kematian, beban sistem kesehatan, jumlah kasus baru, positivity rate, vaksinasi, kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat, serta pengobatan baru.
Dia, menegaskan, endemi bukan berarti kasus COVID-19 hilang. Kasus yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu akan tetap ada, hanya saja tidak mengalami lonjakan tajam seperti tahun lalu.
“Bukan berarti juga kita enggak berpikir tentang Covid-19 lagi. Penyakit ini tetap ada. Statis. Tak terlalu meningkat, tak terlalu turun,” katanya.
Endemi Tak Berarti Virus Benar-Benar Hilang
Menurut Zubairi, saat endemi, COVID-19 masih bisa menular bahkan menimbulkan kematian. Namun risikonya tidak terlalu besar.
Dia mengambil contoh penyakit endemi seperti Tuberkulosis (TBC) dan Malaria yang masih terus menular dan memicu kematian hingga saat ini.
“Keduanya masih sebabkan angka kesakitan dan kematian tinggi,” katanya.
Zubairi mengatakan COVID-19 belum bisa diberantas total saat ini. Namun, ada peluang untuk keluar dari fase endemi dan memasuki endemi Covid-19.
“Tidak lagi menjadi krisis dan lebih bisa terkelola,” pungkasnya.
Penulis: Titin Supriatin/Merdeka.com
Advertisement