Studi Ungkap Varian Omicron Munculkan Risiko Long COVID Lebih Rendah dari Varian Sebelumnya

Para peneliti di Inggris menemukan bahwa perkembangan long COVID pasca infeksi selama gelombang Omicron di Inggris adalah 20 hingga 50 persen lebih rendah dibandingkan ketika gelombang Delta.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 17 Jun 2022, 14:00 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2022, 14:00 WIB
Long COVID-19 (Foto: Unsplash)
Long COVID-19 (Foto: Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi peer-reviewed di Inggris mengungkap varian Omicron cenderung tidak menyebabkan kondisi long COVID seperti varian sebelumnya.

Para peneliti di King's College London menggunakan data dari aplikasi ZOE COVID Symptom Study. Mereka menemukan bahwa perkembangan long COVID pasca infeksi selama gelombang Omicron di Inggris adalah 20 hingga 50 persen lebih rendah dibandingkan ketika gelombang Delta.

Individu yang mengalami long COVID pun bervariasi, tergantung pada usia serta waktu mereka mendapat vaksinasi terakhir.

Long COVID yang melibatkan gejala palnjang dari kelelahan hingga 'brain fog' dapat menghambat gerak seseorang. Simtomnya pun dapat bertahan berminggu-minggu hingga berbulan-bulaa. Kondisi tersebut mulai ditengarai sebagai masalah kesehatan publik dan para peneliti berusaha secepatnya mencari tahu apakah Omicron pun menimbulkan risiko long COVID seperti varian terdahulu.

Studi yang dilakukan oleh King's College ini diyakini sebagai penelitian akademis pertama yang menunjukkan bahwa Omicron tidak memunculkan risiko besar long COVID. Meski demikian, tim peneliti menyatakan hal itu bukan berarti jumlah pasien long COVID menurun.

Meski risiko long COVID lebih rendah saat gelombang Omicron, ada lebih banyak orang yang terinfeksi, sehingga angka absolut mereka yang mengalaminya pun lebih tinggi.

Kepala peneliti Dr Claire Steves meminta agar penyedia layanan kesehatan tak menghentikan layanan mereka bagi pasien long COVID.

"Ini kabar baik, tapi tolong jangan hentikan layanan long COVID Anda," kata ketua peneliti Dr Claire Steves, dilansir ChannelNewsAsia.

 

Perlu Penelitian Lebih Lanjut

Kantor Statistik Nasional Inggris mengatakan pada bulan Mei 2022, sebanyak 438.000 orang di negara itu mengalami keluhan long COVID setelah terinfeksi Omicron. Jumlah tersebut mewakili 24 persen dari semua pasien long COVID yang ada.

Dikatakan juga bahwa risiko gejala long COVID setelah Omicron lebih rendah dibandingkan dengan Delta, tetapi hanya untuk orang yang mendapatkan vaksinasi ganda. Tidak ditemukan perbedaan statistik bagi mereka yang divaksinasi tiga kali.

Dalam penelitian King's College, 4,5 persen dari 56.003 orang yang diteliti selama puncak Omicron, Desember 2021 hingga Maret 2022, melaporkan mengalami long COVID.

Itu dibandingkan dengan 10,8 persen dari 41.361 orang selama gelombang Delta, dari Juni hingga November 2021. Sementara perbandingan long COVID pada individu yang divaksinasi dan tidak divaksinasi tidak dilakukan.

Studi - yang diterbitkan dalam jurnal Lancet pada Kamis (16 Juni) - ini membandingkan Delta dan Omicron, Dr Steves mengatakan bahwa penelitian sebelumnya tidak menunjukkan perbedaan substansial dalam risiko long COVID di antara varian lainnya.

Tetap diperlukan studi lebih lanjut untuk memastikan mengapa Omicron memiliki risiko long COVID yang lebih rendah. 

 

2 Juta Orang di Inggris Alami Long COVID

Sekitar tiga persen dari jumlah populasi di Inggris atau dua juta orang diprediksi alami long COVID usai terinfeksi COVID-19. Hal ini diungkap Office for National Statistics (ONS) Inggris pada 1 Juni kemarin.

ONS juga menyampaikan bahwa fatique atau rasa lelah merupakan gejala paling umum yang dirasakan mereka dengan long COVID. Sekitar 55 persen melaporkan hal tersebut. Lalu disusul dengan napas yang penedek (32 persen), batuk-batuk (23 persen) dan nyeri otot (23 persen).

Keluhan long COVID terbanyak pada mereka yang berusia 35-69 tahun. Lalu, didominasi juga pada perempuan.ONS juga mencatat bahwa long COVID banyak terjadi pada profesi tertentu seperti mereka yang bekerja di perawatan sosial, pendidikan, dan pelayanan kesehatan seperti mengutip Channel News Asia, Kamis (2/6/2022).

Long COVID adalah suatu kondisi ketika dua, tiga bahkan enam bulan setelah terinfeksi COVID-19 merasakan beberapa gejala. Lelah, batuk, lemas dan mungkin sesak napas. Data WHO menunjukkan sekitar 10-20 persen pasien COVID-19 alami long COVID.

Bisa Dialami Pasien COVID-19

Long COVID bisa mengenai siapa saja yang pernah terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Bahkan orang tanpa gejala (OTG) bisa mengalami long COVID seperti disampaikan dokter spesialis penyakit dalam RS EMC Pulomas Dirga Sakti Rambe.

"Siapa pun yang terinfeksi COVID-19, sekalipun gejala ringan, sekalipun tidak bergejala bisa alami long COVID," kata Dirga.

Long COVID isa terjadi karena meski virus SARS-CoV-2 sudah mati dalam 14 hari di tubuh pasien tapi reaksi radang belum tuntas. Maka terjadi long COVID seperti dijelaskan Dirga yang yang juga vaksinolog ini dalam Virtual Class bersama Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Meski masih alami gejala kurang menyenangkan pascaterpapar virus Corona, orang ini tidak lagi menularkan COVID-19.

Secara umum long COVID-19 tidak mengancam nyawa namun ada kualitas hidup manusia yang terganggu.

"Bekerja jadi sulit konsentrasi, lalu ada juga yang merasa tidak bisa berolahraga kembali seperti dulu karena mudah lelah atau sesak ," kata Dirga.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya