Liputan6.com, Jakarta - Menjadi anak dari orangtua yang telah bercerai tidaklah mudah. Dianggap sebagai anak dari orangtua yang gagal, tidak mendapat kasih sayang dari orangtua, serta tidak bisa menjadi sosok yang punya rumah tangga utuh di masa depan sering kali menjadi stigma yang melekat dalam diri anak broken home.
Pernahkah terlintas dibenak para orangtua yang bercerai soal dampak psikis yang akan di dapatkan anak nantinya?
Baca Juga
Dilansir dari laman Very Well Family, berikut dampak psikologis yang kemungkinan dirasakan oleh anak dari orangtua yang bercerai:
Advertisement
1. Dampak emosional
Bagi anak-anak, berada di dalam situasi perceraian orangtua membuat mereka bingung, frustasi, bahkan rasa takut yang berlebih dalam diri mereka.
Anak yang berusaha memahami situasi tersebut akan terus bertanya kepada diri mereka sendiri, ‘apakah mereka sudah berhenti mencintai satu sama lain?’
atau ‘apakah orangtua saya juga berhenti mencintai saya suatu saat nanti?’.
Bahkan tak jarang, ada yang akhirnya menyalahkan salah satu pihak orangtua atas perceraian tersebut.
2. Stress Terkait Perceraian
Dalam studi yang berjudul ‘The Impact of Family Structure on the Health of Children: Effects of Divorce’ tahun 2014, Jane Anderson mengungkapkan bahwa anak dari orangtua yang bercerai sering kali kehilangan kontak dengan salah satu orangtua nya.
Menjadi orangtua tunggal tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Ada kalanya, salah satu pihak juga pasti mengalami stres pasca perceraian.
Namun, tidak hanya dialami oleh orangtua yang bercerai, stres juga bisa diderita oleh anak korban perceraian.
Ada yang harus sampai mendewasakan diri sejak dini, pindah sekolah, pindah rumah baru, bahkan hingga rasa lelah karena tinggal dengan orangtua tunggal.
3. Masalah Kesehatan Mental
Perceraian dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental pada anak-anak dan remaja.
Seorang ahli dari Department of Psychological and Brain Sciences, Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat menemukan tingkat depresi dan kecemasan lebih tinggi dialami oleh anak-anak dibandingkan orangtua yang bercerai.
4. Masalah Perilaku Anak
Perceraian orangtua juga dapat memberikan dampak pada perilaku anak, seperti gangguan perilaku, kenakalan, dan perilaku impulsif dari pada anak-anak dengan orangtua yang lengkap.
Selain masalah perilaku yang meningkat, anak-anak juga mungkin mengalami lebih banyak konflik dengan teman sebaya setelah perceraian orangtua nya terjadi.
5. Turunnya prestasi akademik
Jennie E. Brant Dari Department of Sociology, University of California, dalam penelitiannya yang bertajuk “Parental divorce is not uniformly disruptive to children’s educational attainment” mengatakan bahwa, “Anak dari orangtua yang bercerai, cenderung memiliki masalah dengan sekolah jika perceraian tidak terduga,” ujarnya.
Advertisement
Pola Asuh
Menjadi sosok orangtua tunggal (single parent) juga bukanlah sesuatu hal yang mudah. Entah itu sosok ayah, atau ibu, sering kali memutar otak untuk menjalankan dua peran dalam satu tubuh.
Terkadang, bagi seorang single parent tentu pernah khawatir dan berpikir, “Apakah anak saya dapat tumbuh dengan baik walau hanya diasuh oleh saya?”
Menurut ahli kejiwaan, dokter Zulvia Syarif, orangtua tunggal juga tetap bisa merawat dan memberikan kasih sayang kepada anak mereka agar bisa tumbuh dengan baik secara mental maupun fisik.
Mungkin menjalankan dua peran dalam satu tubuh memanglah tidak mudah, tetapi tetap harus kita lakukan supaya anak bisa terpenuhi kebutuhan afeksi yang seharusnya dia dapatkan dari sosok ibu atau ayah.
Selain peranan ganda, juga bisa mengandalkan support system dari orang rumah.
Seperti orang tua kita, saudara, maupun pengasuh anak yang setidaknya dapat meringankan beban dan membantu untuk memenuhi peranan yang kosong tersebut.
Faktor Perceraian di Indonesia
Dikutip dari laman Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, kasus perceraian di Indonesia mendapat peringkat tertinggi di kawasan Asia-Afrika.
Kasubdit Bina Keluarga Sakinah, Agus Suryo Suripto, mengatakan bahwa angka perceraian di Indonesia menyentuh hingga 28 persen dari jumlah angka pernikahan yang ada.
Suryo juga mengungkapkan, sejak pemerintah mengeluarkan sertifikasi pada tahun 2013, kasus perceraian di Indonesia melonjak tajam.
Sebanyak 93 persen dari pengajuan gugatan cerai tersebut, rata-rata dilayangkan oleh pihak istri kepada pihak suami.
Suryo juga membeberkan terdapat faktor yang mendominasi alasan perceraian, seperti:
- Permasalahan ekonomi
- Tingginya permohonan dispensasi untuk pernikahan di bawah umur
- Pernikahan anak
- Kehamilan diluar nikah
- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
- Percekcokan
- Perselingkuhan
Advertisement