200 Pemulung Anak di Makassar Terancam Bahaya Limbah Elektronik

Bahaya limbah elektronik menghantui ratusan pemulung anak di Makassar

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 19 Feb 2023, 16:00 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2023, 16:00 WIB
Ilustrasi Sampah Elektronik
Ilustrasi sampah elektronik. (dok. Unsplash.com/@john_cameron)

Liputan6.com, Jakarta Total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 Ton per tahun. Di Indonesia, limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun.

Hanya 10 persen sampah elektronik yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi. Sedangkan, 90 persen dikelola oleh sektor informal baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.

Sementara, limbah elektronik di Indonesia termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya. Sesuai dengan ketentuan peraturan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Data ini diungkap dalam laporan riset Save the Children Circular Geniuses yang membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan yang dirilis pada Februari 2023.

Laporan riset juga memperlihatkan bahwa di Kota Makassar, tidak hanya pemulung dewasa, tetapi  terdapat setidaknya  200 pemulung anak-anak berusia antara 6 hingga 17 tahun. Mereka berada pada level paling bawah di sistem limbah elektronik yakni mengumpulkan limbah.

Tak sedikit dari pemulung anak juga terlibat dalam proses pemilahan yang tidak aman. Seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman, dan diperparah dengan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat. Sehingga dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.

Memulung Bukan Keinginan Anak

Kegiatan memulung bukan murni keinginan anak. Kondisi ekonomi dan dorongan orangtua mengambil peran dalam banyaknya pemulung usia anak di Makassar.

“Saya tidak ingin menjadi pemulung, tetapi ibu memaksa kami untuk bekerja di tempat pembuangan akhir (TPA) agar mendapatkan uang untuk sehari-hari,” tutur Santi (13 tahun), seorang pemulung usia anak mengutip keterangan Save the Children, Minggu (19/2/2023).

“Sering kali saya ikut kakak mengumpulkan sampah. Saya berharap kita semua bisa bermain dan bersekolah secara normal seperti anak-anak lain,” tambahnya.

Chief Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia, Troy Pantouw, menegaskan tentang faktor utama penyebab anak-anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar.

“Riset kami jelas memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orangtua memaksa anak-anak mereka bekerja sebagai pemulung.”

“Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik, karena tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak,” jelas Troy Pantouw.

Persentase Limbah Elektronik

Di Kota Makassar, tiga kecamatan yang memiliki limbah elektronik terbanyak adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso.

Persentase jenis limbah pun beragam meliputi televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, lemari es 89,2 persen, laptop 76,4 persen dan AC 49,5 persen.

Masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara 40 persen disimpan, 33 persen dijual, 20 persen diperbaiki, 4 persen dibuang, dan hanya 3 persen yang didaur ulang.

Sampah elektronik merupakan jenis sampah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia. Bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil.

Limbah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi, hingga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak. Baik anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran TPA. Hal ini terjadi secara global, termasuk di Kota Makassar.

Temuan Positif

Tak hanya temuan masalah, riset limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan juga menemukan hal baik.

Sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada 2030. Di mana 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.

Ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.

Save the Children mengapresiasi langkah korporasi yang berupaya melakukan transisi hijau dengan mengedepankan prinsip pemenuhan hak anak.

Save the Children bekerja sama dengan Accenture telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir tahun 2022. Hal ini bertujuan mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, dan menjamin pekerjaan yang lebih layak.

Termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Proses pemetaan yang holistik masih berlangsung. Salah satu rangkaian kegiatan pemetaan ini adalah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kota Makassar dan para pemangku kebijakan. Termasuk organisasi berbasis masyarakat dan pihak swasta yang terkait dalam pengelolaan sampah elektronik yang lebih aman di Kota Makassar.

“Dari hasil riset ini, kami berharap kita dapat bersama-sama membangun sistem dan manajemen pengelolaan limbah elektronik yang lebih aman baik pada manusianya dan juga lingkungannya. Serta kita dorong adanya ekosistem kemitraan dalam pengelolaan limbah elektronik ini,” jelas Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar Ferdi Mochtar.

Infografis  Siklus Hidup Sampah Botol Plastik
Infografis  Siklus Hidup Sampah Botol Plastik    
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya