Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Open Network menemukan bahwa mengonsumsi makanan ultra proses berkontribusi pada risiko depresi yang lebih tinggi.
Para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital dan Harvard T.H. Chan School of Public Health menganalisis pilihan makanan dan hubungannya dengan kesehatan mental pada lebih dari 31 ribu perempuan berumur antara 42 dan 62 tahun. Â
Baca Juga
Dikutip dari New York Post pada Sabtu, 30 September 2023, data tersebut berasal dari Studi Kesehatan Perawat II yang dilakukan antara tahun 2003 dan 2017.
Advertisement
Semua peserta mengisi kuesioner makanan setiap empat tahun, mengungkap apakah mereka mengonsumsi makanan ultra proses (UPF) atau tidak. Kemudian UPF dikelompokkan menjadi sembilan kategori, di antaranya:
- Makanan biji-bijian ultra prosesÂ
- Makanan ringan manis
- Makanan siap saji
- Lemak dan saus
- Produk susu ultra proses
- Makanan ringan gurih
- Daging olahan
- Minuman, dan
- Pemanis buatan
"Makanan ultra proses adalah makanan yang mengandung banyak bahan pengawet, bahan penggembur atau pembentuk gel, serta pewarna dan perasa buatan," kata ahli gizi diet terdaftar di Charlotte, North Carolina yang berpraktik sebagai The Lupus Dietitian, Tanya Freirich.Â
Untuk mengukur status kesehatan mental peserta, para peneliti menggunakan dua definisi, yaitu:
- Definisi ketat yang memerlukan depresi yang dilaporkan sendiri, didiagnosis oleh dokter, dan penggunaan antidepresan secara teratur.
- Definisi luas yang memerlukan diagnosis klinis dan/atau penggunaan antidepresan, sebagaimana dinyatakan dalam artikel jurnal.
Para peneliti menyesuaikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi risiko depresi --- seperti usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, status merokok, kesehatan tidur, nyeri kronis, konsumsi alkohol, pendapatan, dan kondisi medis apa pun yang ada.
Â
Pemanis Buatan yang Tergolong Makanan Ultra Proses Berkontribusi Tinggi
Setelah menganalisis hasilnya, para peneliti menemukan bahwa orang yang mengonsumsi lebih banyak makanan ultra proses, khususnya pemanis buatan dan minuman dengan pemanis buatan, lebih rentan mengalami depresi.
Salah satu kemungkinan alasannya adalah pemanis buatan menyebabkan perubahan kimia di otak yang dapat memicu perkembangan depresi, hipotesis mereka.
"Pemanis buatan diketahui mempengaruhi otak melalui jalur yang berbeda dibandingkan pemanis alami seperti gula atau madu," kata Frierich seraya mencatat bahwa diperlukan lebih banyak penelitian di bidang ini.
Mereka yang memiliki asupan UPF tertinggi memiliki peningkatan risiko depresi sebesar 34 persen hingga 49 persen, demikian temuan studi tersebut.
Frierich mengatakan dia tidak terkejut dengan temuan secara keseluruhan.
"Banyak penelitian telah mendokumentasikan hubungan antara beberapa bahan tambahan makanan dan kanker, perubahan hormonal, penambahan berat badan, dan kesehatan mental kita," katanya kepada Fox News Digital.
Â
Advertisement
Keterbatasan Penelitian
Meskipun penelitian ini memiliki ukuran sampel yang besar, tingkat tindak lanjut yang tinggi, dan alat penilaian pola makan yang canggih, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, kata para peneliti.
Para pesertanya sebagian besar adalah perempuan kulit putih non-Hispanik.
Selain itu, penelitian ini bersifat observasional, tanpa wawancara klinis terstruktur.
"Keragaman yang lebih besar dalam ukuran sampel mungkin menemukan perbedaan antar ras dan etnis dalam hubungan antara konsumsi UPF dan depresi," kata Frierich.
"Asupan UPF yang tinggi dikaitkan dengan BMI yang lebih besar, tingkat merokok yang tinggi, penurunan kemungkinan berolahraga secara teratur, serta peningkatan kejadian penyakit diabetes, hipertensi, dan dislipidemia," dia menekankan.
Â
Dibutuhkan Penelitian Lanjutan
Karena penelitian ini bersifat observasional dan bukan penelitian terkontrol, lanjut Frierich, belum ada kepastian bahwa makanan ultra proses merupakan faktor penentu depresi.
"Studi prospektif seperti ini hanya meneliti hubungan antara UPF dan kondisi mental," kata Frierich
"Mungkin seseorang yang mengonsumsi sebagian besar makanannya karena UPF tidak memiliki akses terhadap makanan segar di lingkungannya. Mungkin mereka melakukan beberapa pekerjaan dan tidak punya waktu untuk memasak, atau merawat orang yang dicintai dan mengorbankan perawatan diri mereka sendiri," pungkasnya.
Advertisement