Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sedang membangun pusat komando laboratorium nasional bertaraf internasional yang dinamakan “National Laboratory Command Center (NLCC)” untuk penyakit berpotensi wabah. Sebut saja, patogen virus influenza termasuk COVID-19, kolera, pes, Demam Berdarah (DBD), campak, polio, difteri, pertussis, rabies, malaria, dan flu burung.
Kemudian penyakit antraks, leptospirosis, hepatitis, meningitis, sakit kuning, chikungunya, dan cacar monyet (Mpox). NLCC tersentralisasi di Laboratorium Rujukan Nasional Prof. Dr. Oemijati Jakarta, yang menghubungkan semua laboratorium yang ada di Indonesia, baik laboratorium penyakit, laboratorium kesehatan daerah, laboratorium milik Kemenkes, termasuk laboratorium lain yang selama ini tidak terkoneksi.
Baca Juga
Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan Kemenkes RI Wirabrata mengungkapkan, pembangunan NLCC direncanakan selesai dalam waktu dekat pada November 2023. Melalui NLCC, seluruh temuan kasus dapat langsung terkoneksi ke pusat.
Advertisement
“Dulu, ketika kita ada temuan kasus polio di satu tempat, itu tidak bisa langsung terintegrasi langsung, karena kita perlu waktu kan untuk mengkoneksikannya. Kadang-kadang harus bentuknya laporan tertulis dan sebagainya,” ungkap Wira, sapaan akrabnya saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Gedung Kemenkes RI Jakarta, ditulis Senin (6/11/2023).
“Kalau pakai sistem ini, semua laporan itu akan terinput secara otomatis. Kita nanti akan bangun Command Center. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama ya seminggu-dua minggu ini jadi dan ruangan sedang dibuat. Itu by system kita sudah siapkan untuk mengintegrasikan semua laboratorium.”
Hasil Integrasi Data Secara Real Time
Konsep NLCC diakui Wira memang terbilang baru lantaran belum pernah ada. Gagasan ini belajar dari pengalaman pandemi COVID-19. Pada waktu itu, Indonesia sulit sekali mengakses laboratorium terkait pemeriksaan swab positif dan negatif.
Hingga muncul sistem New All Record (NAR) yang merupakan database tes dan vaksinasi COVID-19. Seluruh laboratorium pemeriksa COVID pun wajib memasukkan hasil pemeriksaan ke dalam sistem tersebut.
“Kita akan coba bangun sistem NAR lebih besar lagi untuk penyakit berpotensial wabah, misalnya sekarang kan lagi ramai cacar monyet. Nanti kalau ada laboratorium kesehatan daerah misalnya, sudah bisa melakukan pemeriksaan itu, hasilnya akan terintegrasi secara real time ke Kementerian Kesehatan di Command Center,” lanjut Wira.
“Kami juga terapkan standarnya itu standar WHO, standarnya sudah internasional. Kami sudah buatkan buku pedoman yang akan disosialisasikan, ini sudah setengah jalan. Supaya sama nih standard biosafety, biosekuriti sama. Kalau sudah sama berarti kualitasnya hasil pemeriksaan diharapkan sama.”
Jaga Kualitas Jejaring Laboratorium
Command Center Kemenkes di internal yang mencakup seluruh kolaborasi di jejaring laboratorium juga akan dilakukan pemeliharaan (maintenance) ke depannya. Dalam hal ini, pemeriksaan laboratorium tetap dipantau kualitasnya.
“Kami akan kasih sampel-sampel tertutup, seperti sampel COVID, coba tes, bener enggak positif atau negatif. Mereka periksa hasilnya, kirim ke kami. Nah kami lihat, oh ternyata bener sampel yang kita kirim positifnya ada 5, tapi lab detect-nya (deteksi) hanya 4, berarti nilainya tidak bagus kualitasnya,” jelas Wirabrata.
“Itu memaintenance ke depan. Jadi setiap tahun, kami akan lakukan review kualitas dari lab-lab tersebut dan sampelnya dapat dari WHO. Kita tes, dilihat gitu dan seterusnya.”
Untuk kualitas laboratorium, kata Wira, memang tidak semua punya standar sama. Ini karena tingkatan levelnya saling berbeda satu sama lain. Saat ini, laboratorium Kemenkes masuk kategori Biosafety Level 3 (BSL 3).
Artinya, BSL 3 mampu memeriksa patogen penyakit paling berbahaya. Petugas pemeriksa lab juga sudah dilengkapi perlindungan keamanan tingkat tinggi.
Lantas, bagaimana dengan laboratorium lain?
“Kalau laboratorium kesehatan daerah mungkin belum sampai level itu. Baru BSL 2. Apalagi nanti laboratorium wilayah timur, belum tentu fasilitasnya ada. Kita ajak mereka untuk sampai di level mana dia bisa,” pungkas Wira.
“Makanya, kita buat nanti level tingkatan laboratorium. Jangan kita memaksakan laboratorium di tingkat Puskesmas harus naik level ke advance, enggak punya dia datanya, enggak punya alatnya. Orangnya (sumber daya manusia) enggak siap juga. Nanti kita sudah pilih mana saja lab-lab tertentu di tingkat nasional dan regional yang siap untuk penyakit potensi wabah.”
Percepat Cegah Penyebaran Patogen
Kehadiran National Laboratory Command Center (NLCC) juga bertujuan mempercepat kebijakan yang diambil Pemerintah nantinya, terutama antisipasi mencegah penyebaran patogen lebih luas. Selain itu, mempercepat deteksi masyarakat yang membawa patogen berpotensi wabah.
“Jangan sampai kita kalah cepat dengan sebaran penyakit. Data itu penting sekali untuk buat kebijakan. Misalnya, sudah ada kasus penyakit baru yang masuk Indonesia, terus antisipasinya apa?” terang Wirabrata.
“Oh ternyata itu penyakit dari luar negeri, orang yang datang, orang bule datang, bawa penyakit. Kita harus kontrol mungkin nanti di imigrasi, di Kantor Kesehatan Pelabuhan. Orang-orang dengan demam tinggi itu, langsung di karantina, kita ambil sampelnya, kita uji.”
Apabila orang yang diperiksa tidak menunjukkan penyakit patogen berbahaya, baru boleh bepergian di Indonesia.
Advertisement
Pelaporan Langsung ke Command Center
Pertanyaan menyeruak, apa perbedaan surveilans yang biasa dilakukan dengan National Laboratory Command Center (NLCC)? Wirabrata menjawab ada tiga hal. Pertama adalah data yang selalu real update.
“Real update itu biasanya secara bertingkat. Laboratorium itu lapor ke Dinas Kesehatan dulu. Surveilans itu begitu alurnya, Dinas Kesehatan - Kabupaten Kota - ke Provinsi ke Kementerian Kesehatan, melalui Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P),” terang Wira.
“Yang ada di daerah ke laboratorium pusat, itu mau periksa sentral langsung ke Dirjen P2P dan Menteri Kesehatan, sehingga ada dwelling time (waktu tunggu) di sana karena pelaporan bisa melalui surat. Suratnya bisa telat sampai, telat baca.”
Melalui NLCC, Kemenkes berupaya membangun bridging system, dari laboratorium daerah, keluar hasil, input by system, masuk ke laboratorium sentral di Command Center. Dari Command Center langsung terhubung ke internasional.
Data Masuk GISAID
Wira mencontohkan saat pelaporan COVID-19, data dapat masuk ke Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Negara-negara di dunia bisa mudah melacak temuan virus baru atau penyakit yang sedang mewabah di Indonesia.
“Kalau kita sudah ngirim ke internasional, ke GISAID, jadi internasional tahu tuh. Oh, ternyata di Indonesia ada temuan influenza baru. Mereka jaga-jaga, antisipasi atau sebaliknya, ketika Singapura melaporkan ada flu baru, kita langsung update,” bebernya.
“Oh ada flu baru di sana, hati-hati nanti penerbangan dari Singapura ke Jakarta, misalnya seperti itu. Kita harus skrining di sana. Itu yang kita jaga. Kalau itu bisa cepat dapat informasi, kan keputusan bisa cepat, program P2P bisa cepat turun tangan, program surveilansnya jalan.”
Hasil surveilans saat pandemi COVID-19, Indonesia men-sequencing 50.000 sekuens untuk COVID. Menurut Wira, Indonesia terbesar kedua setelah India yang paling rajin memasukkan data COVID-19 ke GISAID dibanding negara lain.
“Artinya, kita sudah punya peralatan, punya orang yang canggih-canggih. Makanya, kita bisa cepat tuh bisa bebas dari pandemi. Karena data kita lengkap, bagus,” pungkasnya.
Uji Coba dari Aceh sampai Makassar
Menuju running National Laboratory Command Center (NLCC), Wirabrata membeberkan proses integrasi laboratorium di daerah sudah diujicobakan sejak sebulan terakhir ini.
“Kita baru coba di beberapa laboratorium. Yang sudah terintegrasi itu Makassar, laboratorium Jawa Barat, Labkesda Bandung sudah masuk. Kemudian Aceh untuk perwakilan wilayah barat paling ujung,” ucapnya.
“Jadi, Makassar untuk perwakilan wilayah timurnya, kemudian Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta (BBLK) kita sudah masukkan juga. Kita coba 4 titik itu sudah terintegrasi. Kita akan coba lagi dalam waktu sebulan ke depan yang memungkinkan lebih banyak lagi laboratorium yang bisa di tingkat provinsinya yang masih bisa kita integrasikan berhasil, Itu kita bisa running.”
Di sisi lain, Wira mengatakan, ada problem soal laboratorium punya gaya aplikasi sendiri-sendiri. Itu adalah tantangan dalam membridging sistem. Labkesda Jawa Barat perlu waktu dua minggu untuk membridging sistemnya saja.
“Itu PR kami. Tapi saya yakin, kalau ini sudah terbangun di level regional, di tingkat pusatnya sudah terbangun, Command Center terbangun, paling tidak kita sudah menyelesaikan satu masalah besar untuk kolaborasi integrasi laboratorium selama ini,” katanya.
“Poin lainnya untuk surveilans ke depan lebih baik lagi dan sistem ini yang sebenarnya dilakukan di tingkat global. Jadi selama ini kita kan kirim-kirim email.”
Command Center di Bawah Menteri Kesehatan
Kemudahan meng-input data, misalnya ada temuan virus dan patogen baru dapat segera terinfokan ke NLCC sehingga pelaporan akan sangat mudah sekali.
“Tinggal input aja, biar nanti kami yang analisis di Command Center, ini bahaya atau enggak nih? Karena kita di level nasional, udah langsung connect dengan global (GISAID). Laporannya bisa sampai cepat ke Jakarta dan kita cepat mengambil tindakan untuk eksekusinya seperti apa,” imbuh Wira.
“Dan Command Center ini di bawah Menteri Kesehatan langsung. Beliau bisa langsung ambil tindakan apa yang harus dilakukan, misalnya harus segera melakukan vaksinasi massal. Kita bisa minta bantuan dari TNI Polri seperti yang kita lakukan di COVID. Jadi, yang diperlukan adalah data yang cepat, informasi yang cepat.”
Advertisement