Liputan6.com, Jakarta Dua puluh tujuh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2024 dilaporkan meninggal dunia.
Data ini disampaikan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) per Jumat, 16 Februari 2024.
Baca Juga
"Sampai saat ini tercatat 27 kasus kematian yang dilaporkan," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, dikonfirmasi di Jakarta, Jumat mengutip Antara.
Advertisement
Terkait meninggalnya petugas KPPS, pakar global health security Dicky Budiman memberi tanggapan. Menurutnya, orang memang bisa meninggal karena kelelahan luar biasa ditambah dengan kondisi kesehatan yang tidak bugar.
“Ini akibat pekerjaan yang berat dalam durasi yang lama dan ini terjadi bukan hanya dalam konteks Pemilu. Pekerja berat seperti di China, Korea, itu terkenal banyak mengalami kematian mendadak karena banyak faktor. Antara lain karena ritme kerja yang berat dan terus-menerus,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, ditulis Sabtu, 17 Februari 2024.
Risiko meninggal juga semakin tinggi jika kondisi tubuh memang sedang tidak fit atau ada komorbid, jarang berolahraga, dan sebagainya.
“Dalam konteks Pemilu, sebetulnya kematian petugas Pemilu akibat kelelahan yang luar biasa bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di negara lain pun terjadi, misalnya di India.”
Mayoritas Korban adalah Kelompok Berisiko
Dicky menambahkan, peristiwa meninggalnya petugas KPPS adalah bentuk dari dampak buruk begadang bagi kesehatan. Ditambah beban kerja yang tidak hanya berpengaruh pada fisik tapi juga mental.
Di sisi lain, Dicky melihat bahwa mayoritas korban adalah kelompok berisiko.
“Mayoritas yang menjadi korban ini masuk dalam kategori berisiko, dari sisi usia di atas 40, bahkan mungkin di atas 45 tahun. Kemudian memiliki komorbid baik itu jantung, hipertensi, diabetes dan lain sebagainya. Ini yang menempatkan mereka menjadi semakin riskan.”
Advertisement
Dampak Infeksi COVID-19
Ditambah lagi, lanjutnya, dampak dari infeksi COVID-19 di masa pandemi dapat membuat sebagian masyarakat ada dalam kondisi rapuh.
“Nah ini kalau tidak dilakukan skrining memadai ketika pemilihan petugas ini ya kita akhirnya mendapatkan petugas-petugas yang dalam posisi sangat rawan untuk bekerja dalam situasi yang berat seperti pemilu ini.”
“Ini bukan main-main ya, baik sebelum, selama, maupun setelah pencoblosan itu kan proses yang tidak ringan untuk satu orang yang kondisinya tidak fit atau tidak bugar.”
Perlu Skrining yang Memadai
Terulangnya peristiwa petugas KPPS meninggal diyakini Dicky karena skrining kesehatan yang dilakukan tak cukup teliti.
“Saya kira dan saya yakin dalam pemilihan petugas ini tidak ada skrining kesehatan yang cukup teliti dalam artian dilakukan medical check up, kan tidak. Nah ini yang tentu akhirnya membuat sebagian yang memang sudah dalam kondisi tidak fit akhirnya meninggal.”
Ditambah, ada keterbatasan dalam memilih petugas. Misalnya, anak-anak muda tidak berminat dan sebagainya.
“Ini akhirnya menjadi beragam faktor yang menyebabkan kasus seperti ini akhirnya terulang atau terjadi lagi.”
Oleh karena itu, kata Dicky, yang perlu dilakukan pemerintah terutama Kemenkes dan penyelenggara Pemilu adalah kerja sama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Kemenkes.
“KPU harus melibatkan Kemenkes atau jajaran kesehatannya dalam melakukan perekrutan petugas ini dari sejak awal. Termasuk juga melakukan skrining yang memadai sehingga kita memperoleh petugas-petugas yang masuk dalam kategori fit dan bugar.”
Tak lupa, perlu ada pemantauan kesehatan berkala sebelum dan selama berlangsungnya Pemilu, terutama saat pencoblosan dan penghitungan suara.
“Kita tahu beban besarnya ada di situ kan,” pungkas Dicky.
Advertisement