Liputan6.com, Jakarta - Ada berbagai aktivitas yang rutin dilakukan Dokter Zaidul Akbar pada pagi hari. Beberapa aktivitas sederhana ia lakukan untuk membangun perasaan bahagia saat memulai hari.
“Tiap hari tuh saya pengen hati senang, tenang, makanya pagi-pagi kalau saya jalan pagi abis subuh gitu saya dzikir pagi, saya pegangin (pohon) pisang (nanya) 'apa kabar?', ‘makasih ya’ saya bilang, kenapa? Karena dia sudah ngasih oksigen buat kita lho, tumbuhan-tumbuhan itu,” kata Zaidul dalam video yang diunggah di kanal Youtube dr. Zaidul Akbar Official dikutip Selasa (18/2/2025).
Baca Juga
“Kucing-kucing kalau masuk rumah, ‘Kenapa kamu, hamil ya?’. Ya dia enggak jawab sih, ‘meong’ kata dia. Makanya kalau saya pulang shalat itu sudah ada tiga, empat mereka yang menunggu saya di depan rumah untuk dikasih makan, saya ngobrol sama mereka,” ujarnya.
Advertisement
Kegiatan pun dilanjut dengan menyiram tanaman obat di pekarangan rumah.
“Jadi hari-hari tuh sudah happy kita. Ada masalah? Pasti ada, tapi sudah tertekan semua dengan kedamaian kita, ketenangan kita, sehingga jantungnya tenang, ginjalnya tenang,” papar Zaidul.
Rutinitas yang dilakukan Zaidul adalah terhubung kembali dengan alam. Para psikolog mengenal kegiatan seperti ini sebagai konsep forest healing.
Forest healing adalah salah satu terapi psikologi yang bisa digunakan untuk meredakan berbagai jenis simtom psikologi seperti stres. Terapi ini dilakukan dengan berjalan-jalan di alam atau hutan, memeluk pohon, berbicara dengan tumbuhan, dan memetik bunga liar.
Forest Healing untuk Meredakan Stres
Menurut koordinator program Forest Healing Fakultas Psikologi (Fapsi) Universitas Padjadjaran (Unpad) Hammad Zahid Muharram, M.Psi., Psikolog., forest healing menjadi satu terapi yang saat ini mulai banyak digunakan dalam bidang psikologi.
“Forest healing tidak bisa menyembuhkan, karena penyembuhan stres perlu terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Akan tetapi, sifatnya meredakan, lebih tidak separah sebelumnya,” kata Zahid mengutip laman resmi Unpad, Rabu (2/10/2024).
Zahid menambahkan, manusia memiliki ikatan kuat dengan alam. Ketika manusia berada di hutan, ia akan merasakan iklim mikro yang berbeda dengan di kota ataupun di luar alam. Iklim mikro tersebut banyak dihasilkan dari zat phytoncide yang dikeluarkan tumbuhan secara alami.
“Zat ini dinilai mampu meningkatkan kadar kesehatan manusia selama berada di alam bebas,” ujar Zahid.
Advertisement
Grounding atau Nyeker di Alam
Menjaga kesehatan mental juga bisa dilakukan dengan grounding atau earthing (membumi). Ini adalah teknik yang digunakan sebagian orang untuk menghubungkan fisik dengan energi listrik Bumi.
Planet Bumi mempunyai muatan listrik negatif. Beberapa ilmuwan berteori bahwa ada transfer elektron bebas ke tubuh manusia selama grounding. Konduksi listrik ini dapat memicu berbagai efek fisik.
Bagi banyak orang, gagasan grounding atau membumi terdengar tidak biasa dan kurang diketahui cara melakukannya.
Ada beberapa cara untuk melakukan grounding. Salah satunya berdiri atau berjalan tanpa alas kaki alias nyeker di atas rumput atau tanah. Bisa pula dilakukan dengan menempelkan telapak tangan di permukaan rumput atau tanah.
Tujuan dari grounding adalah untuk memulihkan sambungan listrik tubuh dengan Bumi. Hubungan ini diyakini telah hilang dalam masyarakat industri modern, yang mana masyarakat menghabiskan sebagian besar waktunya memakai sepatu bersol karet atau tinggal di dalam rumah.
“Untuk berlatih melakukan grounding di luar ruangan, Anda harus memastikan bahwa kulit Anda bersentuhan langsung dengan bumi, yang berarti melepas sepatu dan kaus kaki Anda,” mengutip Verywell Health, Selasa (14/10/2023) ditinjau ulang oleh dokter adaptasi di RSUP Sanglah, Bali, Dinda Fath Faathiren.
Pelihara Kucing Bisa Redam Rasa Sepi
Zaidul juga mengatakan dirinya suka bercengkrama dengan kucing. Secara ilmiah, hal ini juga diyakini baik bagi kesehatan mental, otak, dan bisa meredam rasa sepi.
Penelitian terhadap lebih dari 7.900 orang yang rata-rata berusia 66 tahun menemukan bahwa hewan peliharaan membantu lansia menjaga kesehatan otak. Mereka yang tinggal sendirian mampu mencegah hilangnya ingatan dan pemikiran jika memiliki hewan peliharaan.
Namun, kepemilikan hewan peliharaan tampaknya tidak memengaruhi kognisi lansia yang tinggal bersama keluarga.
"Memiliki kucing atau anjing berhubungan dengan berkurangnya kesepian, faktor risiko penting untuk demensia dan penurunan kognitif,” tulis tim peneliti yang dipimpin Ciyong Lu dari Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou, China mengutip US News, Sabtu (30/12/2023).
Temuan ini dipublikasikan pada 26 Desember 2023 di jurnal JAMA Network Open.
Para peneliti mencatat, seiring bertambahnya usia, semakin banyak orang yang hidup sendirian. Data pada 2021 menemukan 28,5 persen orang Amerika tinggal dalam rumah tangga yang hanya dihuni satu orang.
Sejumlah penelitian telah menemukan lansia yang tinggal sendirian berisiko tinggi terkena demensia. Faktanya, memiliki hewan peliharaan dapat mengimbangi segala penurunan mental dikaitkan dengan lansia yang hidup sendirian.
Menurut Lu, masih diperlukan lebih banyak penelitian. Namun, kepemilikan hewan peliharaan mewakili perubahan sederhana.
Ini dapat berperan dalam mengembangkan kebijakan kesehatan masyarakat untuk memperlambat penurunan kognitif pada lansia yang tinggal sendirian.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)