Di dalam tenda berukuran dua kali empat meter yang penuh sesak, Fatmawati dengan cekatan mempersiapkan air minum untuk para pengungsi korban banjir Kampung Pulo.
Para pengungsi memang sedang menunggu waktu makan siang di Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Ibu empat anak itu sudah 10 hari menginap di tenda tim Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kecamatan Jatinegara.
Fatmawati siaga hampir seharian penuh untuk mempersiapkan kebutuhan logistik bagi para pengungsi dan membantu mengevakuasi korban banjir.
"Tidur satu jam saja sudah bagus mas buat saya," ujarnya di lokasi pengungsian Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, seperti dikutip dari Antara, Kamis (23/1/2014).
Fatmawati dan 14 petugas Tagana sudah bersiaga di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur, sejak Minggu (12/1), ketika banjir mulai melanda Jakarta.
Perempuan yang tinggal di kawasan Tambun, Bekasi, Jawa Barat, itu rela meninggalkan keluarganya untuk sementara demi membantu para pengungsi banjir.
Menjadi anggota Tagana sejak 2010, membuat Fatmawati sadar betul risiko yang harus dia hadapi sebagai terima bagian dari tim penyelamat. Termasuk ketika tidak bisa terus mendampingi keluarga yang sedang kebanjiran untuk membantu korban banjir di daerah lain.
Saat membantu para pengungsi banjir di Kampung Pulo beberapa hari lalu, Fatmawati mendengar kabar buruk dari Ketua Rukun Tetangga (RT) yang menyebutkan bahwa rumahnya juga kebanjiran.
Sebagai orangtua tunggal, Fatmawati sempat cemas memikirkan keempat anaknya yang pasti sangat membutuhkan kehadirannya pada saat-saat sulit seperti itu.
Akhirnya, setelah mengevakuasi warga di Kampung Pulo dia bergegas pulang untuk melihat kondisi keempat anaknya di rumah.
"Pontang-panting saya pulang. Alhamdulillah di Tambun airnya cepat surut," kata Fatmawati, yang ketika itu hanya bisa pulang ke rumah selama beberapa jam saja.
"Setelah semuanya aman, saya kembali lagi ke sini," tuturnya.
Setelah kejadian itu, Fatmawati setiap hari berkomunikasi dengan ketua RT di kediamannya dan anak sulung dia untuk memantau keadaan semua anggota keluarganya.
Para pengungsi memang sedang menunggu waktu makan siang di Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Ibu empat anak itu sudah 10 hari menginap di tenda tim Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kecamatan Jatinegara.
Fatmawati siaga hampir seharian penuh untuk mempersiapkan kebutuhan logistik bagi para pengungsi dan membantu mengevakuasi korban banjir.
"Tidur satu jam saja sudah bagus mas buat saya," ujarnya di lokasi pengungsian Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, seperti dikutip dari Antara, Kamis (23/1/2014).
Fatmawati dan 14 petugas Tagana sudah bersiaga di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur, sejak Minggu (12/1), ketika banjir mulai melanda Jakarta.
Perempuan yang tinggal di kawasan Tambun, Bekasi, Jawa Barat, itu rela meninggalkan keluarganya untuk sementara demi membantu para pengungsi banjir.
Menjadi anggota Tagana sejak 2010, membuat Fatmawati sadar betul risiko yang harus dia hadapi sebagai terima bagian dari tim penyelamat. Termasuk ketika tidak bisa terus mendampingi keluarga yang sedang kebanjiran untuk membantu korban banjir di daerah lain.
Saat membantu para pengungsi banjir di Kampung Pulo beberapa hari lalu, Fatmawati mendengar kabar buruk dari Ketua Rukun Tetangga (RT) yang menyebutkan bahwa rumahnya juga kebanjiran.
Sebagai orangtua tunggal, Fatmawati sempat cemas memikirkan keempat anaknya yang pasti sangat membutuhkan kehadirannya pada saat-saat sulit seperti itu.
Akhirnya, setelah mengevakuasi warga di Kampung Pulo dia bergegas pulang untuk melihat kondisi keempat anaknya di rumah.
"Pontang-panting saya pulang. Alhamdulillah di Tambun airnya cepat surut," kata Fatmawati, yang ketika itu hanya bisa pulang ke rumah selama beberapa jam saja.
"Setelah semuanya aman, saya kembali lagi ke sini," tuturnya.
Setelah kejadian itu, Fatmawati setiap hari berkomunikasi dengan ketua RT di kediamannya dan anak sulung dia untuk memantau keadaan semua anggota keluarganya.
Dikenal warga
Berbeda dengan Fatmawati, petugas SAR Tagana DKI Jakarta, Novri Hamdani yang akrab disapa Alek, adalah andalan tim evakuasi dari Tagana. Bahkan, saking beraninya Alek menghadapi tingginya air dan kencangnya arus, pria berusia 35 tahun itu begitu dikenal oleh warga.
Alek sudah bersiaga di lokasi banjir Kampung Pulo sejak Minggu (12/1). Dirinya kerap menemukan banyak kendala untuk mengungsikan warga, terutama di beberapa Rukun Tetangga (RT) seperti RT 14, RT 15, dan RT 16, Kampung Pulo, Jatinegara.
"Rata-rata warga udah punya 'safety' sendiri. Mereka tidak mau dievakuasi, tapi udah punya penanganan khusus," ujarnya.
Saat itu, kepada warga, Alek membujuk warga akan pentingnya evakuasi karena tinggi air sudah mencapai satu setengah meter atau setinggi wajah orang dewasa. Namun hal itu tetap tidak membuat warga luluh dan mau dievakuasi. Imbauan yang diutarakan Alek hanya berkahir dengan perdebatan.
Upayanya melawan arus luapan air kali Ciliwung untuk menghampiri dan membujuk warga yang masih berkeras tinggal di rumah tampak percuma. Dia hanya duduk di tembok rumah warga saat tengah dinginnya malam menyergap di tengah gerimis hujan.
Di saat dirinya letih itu, sebuah ember dari atas yang diturunkan menggunakan tambang tepat menghampiri wajahnya.
Ember itu berisi segelas teh manis hangat dan sejumlah makanan kecil seperti biskut dan roti. Kebetulan Alek cukup lapar dan haus karena sudah bersusah payah menuju lokasi evakuasi itu. Apalagi Alek baru tidur sekitar dua jam saja pada malam sebelumnya.
"Ngemil-ngemil dulu Mas, santai dulu lah," ujar warga tersebut seperti ditirukan Alex.
"Terima kasih Pak, kita santai dulu lah," jawab Alek yang saat itu seorang diri, sedangkan petugas lainnya berada di perahu yang dihubungkan dengan tambang ke rumah warga.
Bagi Alek, segelas tes hangat dan makanan kecil itu menjadi bentuk apresiasi warga yang tidak dia dapatkan dari pihak manapun, selama dia bertugas.
Hal itu pula yang membuatnya tetap bersemangat, meskipun dirinya sudah 10 hari berjaga di Tenda Tagana yang berlokasi di Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Selama 10 hari itu pula dirinya hanya tidur dua hingga empat jam per harinya karena harus mengurus logistik dan evakuasi.
"Apalagi yang menyenangkan bagi kami relawan, kalau bukan apresiasi warga dan keramahannya," ujarnya.
Advertisement
Kiat khusus
Menghadapi warga yang kerap keras kepala karena tidak ingin dievakuasi, petugas SAR memiliki kiat-kiat khusus. Fatmawati kerap menjadi "dewi" dalam tim SAR Tagana. Sosoknya yang keibuan mampu meluluhkan hati warga yang sebelumnya bersikeras tidak ingin mengungsi.
Di tengah kesulitan karena cuaca hujan, atau kondisi medan yang penuh rintangan seperti arus kencang air, sosok wanita seperti Fatmawati harus tetap tenang ketika mengevakuasi warga, meskipun kekhawatiran tentang keselamatan diri terus berkecamuk. Jika dirinya tidak tenang, tidak mungkin warga dapat dibujuk untuk dapat dievakuasi.
"Saya ingatkan dulu betapa pentingnya evakuasi saat bencana sedang bahaya-bahayanya seperti ini,terutama untuk Ibu-ibu hamil," ujarnya.
Dia juga harus sabar menghadapi orang-orang dengan beragam karakter saat membantu warga di tempat pengungsian.
"Menjadi relawan di sini juga sangat melatih kesabaran, karena setiap hari saya berhadapan dengan pengungsi yang kerap merasa kebutuhannya tidak tercukupi. Akibatnya saya juga yang diprotes," kata dia lalu terkekeh.
Namun semua itu tidak membuat Fatmawati kapok untuk menjadi relawan Tagana dan dia berusaha menularkan kepeduliannya kepada sesama pada anak-anaknya.
"Anak saya yang bungsu, sudah memperlihatkan kepedulian dia kepada keadaan sosial di sekitarnya. Saya berharap nurani dan empati sosial terus dipelihara," ujarnya.
Sedangkan Alek, mengaku hanya berbekal keyakinan dan pengalaman menjadi tim SAR sejak bertahun-tahun lalu. Pengalaman yang paling berkesan buat dirinya adalah jalinan persahabatan yang terpelihara antara dirinya dengan warga.
Keramahan warga yang dia temui beberapa hari lalu mengingatkan dia pada bencana banjir di Kampung Pulo pada 2013 ketika dirinya juga menjadi petugas SAR Tagana.
Saat itu, banjir di Kampung Pulo terjadi saat Bulan Ramadhan tiba. Saat dirinya berusaha mengevakuasi, warga bergeming untuk diungsikan.
Justru warga mengajak Alek masuk ke rumah untuk menyantap hidangan sahur secara bersama-sama di lantai dua. Akhirnya, lebaran Idul Fitri pada 2013 pun, Alek habiskan di rumah warga Kampung Pulo.
"Mungkin karena Tagana kan orang-orangnya dari unsur masyarakat, jadi warga mudah dekat dengan kami," ujarnya.
Lanjutkan Membaca ↓