Liputan6.com, Jakarta Sebelum menjadi dalam bentuk kitab seperti sekarang ini, dahulu mushaf Alquran masih dalam bentuk lembaran-lembaran. Ayat-ayat Alquran yang semula disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat, secara lisan, ayat-ayat tersebut kemudian ditulis di atas kertas, kulit hewan, maupun di permukaan pelepah kurma.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Meski pada saat itu Alquran masih dalam bentuk lebaran dan belum disatu padukan dalam bentuk kitab suci seperti sekarang ini, mushaf Alquran tetap harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Menyentuhnya pun harus dalam keadaan suci dari hadas dan najis. Hal ini seperti tertuang dalam Surat Al Waqiah ayat 79.
Mushaf Alquran baru dihimpun menjadi satu dan dijadikan kita seperti sekarang ini baru di masa sahabat, ketika Rasulullah SAW sudah meninggal, tepatnya ketika Abu Bakar As Shiddiq memegang jabatan sebagai Khalifah.
Untuk memahami bagaimana proses penyusunan mushaf Alquran, sehingga menjadi kitab suci seperti sekarang ini, berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (17/4/2023).
Penyusunan Alquran di Zaman Nabi Muhammad SAW
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Namun, urutan surat dalam mushaf Alquran tidak dimulai dari surat tersebut, lalu bagaimana sebenarnya penyusunan mushaf Alquran hingga seperti saat ini?
Ada banyak pendapat yang mengemukakan tentang metode penyusunan mushaf Alquran. Sebagian ulama bahkan meyakini bahwa proses penyusunan mushaf Alquran sehingga menjadi seperti sekarang ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Berdasarkan pendapat ini, selain mengajarkan bacaan dan pemahamannya, Rasulullah juga mengajarkan bagaimana letak ayat Al-Quran tersebut nantinya ketika sudah berbentuk kitab. Hanya saja, pada saat itu, Al-Quran masih belum dibukukan menjadi kitab seperti sekarang ini.
Salah satu alasan mengapa mushaf Alquran tidak langsung dibukukan adalah karena wahyu masih belum selesai turun selama Nabi Muhammad masih hidup. Jika penyusunan langsung dilakukan sebelum wahyu turun secara lengkap, maka kitab Al-Quran akan terus mengalami perubahan karena adanya ayat atau wahyu baru yang datang. Karena itu, proses pembukuan ayat–ayat dalam Al-Quran tidak dilakukan.
Advertisement
Mushaf Alquran Dibukukan
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan dan menjelaskan urutan ayat-ayat Alquran ketika semua wahyu telah diturunkan secara lengkap. Meski demikian, pembukuan mushaf Alquran baru dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, tapatnya di masa kepemimpinan Abu Bakar. Â Di masa itu, para sahabat mengumpulkan lembaran mushaf tersebut.
Kebutuhan untuk menuliskan mushaf Alquran baru baru dimulai setelah Perang Yamamah terjadi. Sebab, perang tersebut membuat banyak sahabat penghafal Alquran syahid. Sehingga, sebagian sahabat khawatir ayat Al-Quran akan menghilang.
Salah satu sahabat yang merasa khawatir adalah Umar bin Khattab. Dia mengatakan hal tersebut kepada Abu Bakar dan mengusulkan untuk menyusun mushaf Alquran menjadi sebuah kitab. Sayangnya, Abu Bakar menolak karena menganggap Rasulullah tidak melaksanakan atau mengamanahkan hal tersebut.
Namun, setelah beberapa waktu, akhirnya Abu Bakar menyetujui hal tersebut. Dia lalu mengundang Zaid bin Tsabit dan menunjuknya sebagai ketua pelaksana. Zaid yang awalnya menolak seperti Abu Bakar pun akhirnya menyetujui ide tersebut.
Mengumpulkan Al-Quran tentu saja bukan tugas yang ringan. Karena itu, Zaid dibantu oleh banyak sahabat untuk menyelesaikannya. Mereka berupaya mengumpulkan lembaran Al-Quran yang tersebar di berbagai tempat dan media. Lembaran yang sudah terkumpul itu diserahkan kepada Abu Bakar hingga wafat.
Selanjutnya, tugas tersebut dilanjutkan kembali oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah setelah Abu Bakar. Setelah Umar meninggal, lembaran Al-Quran yang sudah terkumpul tersebut dijaga oleh istri Rasulullah, Hafshah binti Umar bin Khathtab.
Mushaf Alquran Dibakukan pada Masa Utsman
Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Pada masa itu, seorang sahabat yang bernama Hudzaifah datang kepada Utsman dan menyampaikan kondisi umat Islam saat itu. Dimana banyak umat Islam yang saling berselisih paham mengenai Al-Quran.
Penduduk Syam membaca al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman mencoba untuk mencegah pertikaian lebih meluas dengan mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah.
Sebagai khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan memerintahkan dituliskannya sebuah versi mushaf Alquran tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy. Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin pembakuan mushaf Alquran dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab kehancuran harmonisan dalam komunitas muslim.
Upaya tersebut menghasilkan mushaf Alquran yang dikenal sebagai mushaf Alquran dengan kaidah Rasm Utsmani atau Mushaf Alquran yang ditulis dengan gaya penulisan Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Alquran dengan kaidah Rasm Usmani adalah mushaf Alquran yang terus dipakai sampai saat ini di berbagai belahan dunia.
Advertisement