Liputan6.com, Jakarta Argoland merupakan sebuah daratan, yang terpisah dari Australia Barat yang pada awalnya merupakan bagian dari superkontinen Gondwana. Daratan ini sekarang disebut sebagai Argoland, yang mengarah ke barat laut di wilayah di mana beberapa pulau di Asia Tenggara berada saat ini.
Baca Juga
Advertisement
Argoland kemudian pecah menjadi beberapa pecahan, dan menjadi sulit ditemukan karena hanya meninggalkan sedikit bukti keberadaannya di dalam formasi batuan. Hasil penelitian oleh ahli geologi dari Universitas Utrecht di Belanda mengungkapkan, bahwa pecahan Argoland telah mencapai tujuan masing-masing dalam waktu yang sama dan terombang-ambing di antara sistem geologi Himalaya dan Filipina.
Penelitian ini juga membandingkan Argoland dengan benua prasejarah lain, yaitu Greater Adria, yang terpecah menjadi bagian-bagian sebelum menjadi lempeng tektonik tunggal. Pencarian Argoland di Asia Tenggara, terutama pulau-pulau seperti Sumatera, Kepulauan Andaman, Kalimantan, Sulawesi, dan Timor, memakan waktu tujuh tahun.
Pengungkapan ini memiliki signifikansi dalam ilmu bumi, di mana membantu pemahaman evolusi keanekaragaman hayati juga iklim. Berikuti ini Liputan6.com merangkum dari berbagai sumber, tentang misteri benua yang hilang, Rabu (15/11/2023).
Daratan yang terpisah kini telah terpecahkan setelah 155 juta tahun
Misteri daratan yang terpisah dari Australia barat modern dan terapung ke laut, kini telah terpecahkan setelah 155 juta tahun. Terakhir, ahli geologi dari Universitas Utrecht di Belanda telah menemukan lokasi Down Under, jauh di bawah permukaan bumi.
Menurut para peneliti, bentangan sepanjang 3.106 mil yang sulit dipahami, yang sekarang disebut oleh para ilmuwan sebagai Argoland, pernah menjadi bagian dari superkontinen Gondwana. Sejak saat itu, ia pecah menjadi beberapa pecahan, meskipun hanya ada sedikit bukti yang tersisa mengenai keberadaan Argoland, pekerjaan detektif para ahli geologi mengarah ke bawah hutan Indonesia dan Myanmar.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang Argoland, mereka membandingkannya dengan benua prasejarah lain yang disebut Greater Adria, yang ditemukan kembali pada tahun 2019. Adria juga terpecah menjadi beberapa bagian yang terbelah di antara cekungan lautan, sebelum menjadi lempeng tektonik tunggal. Berabad-abad yang lalu, ia menyatu dengan mantel bumi dan satu-satunya bukti keberadaannya yang tersisa adalah lapisan atas, yang membentuk pegunungan di Eropa selatan.
Pencarian Argoland di Asia Tenggara memberikan lebih sedikit petunjuk, karena tidak meninggalkan jejak di dalam formasi batuan. Para peneliti membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menarik kesimpulan yang kuat saat mereka menyelidiki struktur beberapa pulau, termasuk Sumatera, Kepulauan Andaman, Kalimantan, Sulawesi, dan Timor.
“Kami benar-benar berurusan dengan pulau-pulau informasi, itulah sebabnya penelitian kami memakan waktu lama. Kami menghabiskan tujuh tahun untuk menyusun teka-teki ini,” kata peneliti universitas Eldert Advokaat. “Situasi di Asia Tenggara sangat berbeda dengan tempat-tempat seperti Afrika dan Amerika Selatan, di mana sebuah benua terpecah menjadi dua bagian. Argoland terpecah menjadi banyak pecahan berbeda. Hal itu menghalangi pandangan kami tentang perjalanan benua ini.”
Advertisement
Terombang-ambing di antara sistem geologi
Advokaat akhirnya mengetahui bahwa banyak fragmen Argoland telah mencapai tujuan masing-masing, dalam jangka waktu yang sama. Mereka akhirnya menemukan bahwa Argoland telah terombang-ambing di antara sistem geologi tetangga di Himalaya dan Filipina.
Petunjuk ini sangat penting untuk menentukan lokasi benua yang lebih besar namun tersembunyi, di mana terdiri dari beberapa fragmen yang menjadi sebuah kepulauan, yang dipisahkan oleh cekungan samudera dan bukannya sebuah daratan yang bersatu.
“Pecahnya Argoland dimulai sekitar 300 juta tahun yang lalu,” kata ahli geologi Universitas Utrecht, Douwe van Hinsbergen. Sekitar 215 juta tahun yang lalu, sebuah peristiwa menyebabkan perpecahan semakin cepat dan terpecah menjadi banyak bagian tipis.
Pengungkapannya sangat penting bagi ilmu bumi, menurut van Hinsbergen. “Rekonstruksi tersebut sangat penting untuk memahami proses seperti evolusi keanekaragaman hayati dan iklim, atau untuk menemukan bahan mentah,” katanya. “Pada tingkat yang lebih mendasar: untuk memahami bagaimana gunung terbentuk atau untuk mengetahui kekuatan pendorong di balik lempeng tektonik; dua fenomena yang berkaitan erat.”