Liputan6.com, Jakarta Istilah dissenting opinion saat ini sedang hangat menjadi perbincangan publik. Hal ini karena tiga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengutarakan dissenting opinion mereka terhadap putusan yang menolak gugatan sengketa Pilpres 2024. Lantas apa itu dissenting opinion?
Baca Juga
Advertisement
Dalam jurnal Kedudukan Dissenting Opinion Sebagai Upaya Kebebasan Hakim Untuk Mencari Keadilan Di Indonesia karya Hangga Prajatama, menjelaskan bahwa dissenting opinion adalah perbedaan pendapat dalam suatu anggota majelis hakim. Ini menjadi salah satu alat bantu untuk memberikan kesempatan para hakim menggunakan keilmuannya secara optimal dengan menggali serta mempertimbangkan matang-matang dengan kemandiriannya menilai dan memutus suatu perkara.
Agar lebih paham, berikut Liputan6.com ulas mengenai arti dissenting opinion dan contoh kasusnya di Indonesia yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (24/4/2024).
Arti dan Makna Dissenting Opinion
Dalam jurnal Kedudukan Dissenting Opinion Sebagai Upaya Kebebasan Hakim Untuk Mencari Keadilan Di Indonesia karya Hangga Prajatama, dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan. Secara harfiah, dissenting opinion juga merupakan suatu perbedaan pendapat hakim dengan hakim lain.
Masih dari sumber yang sama, menurut Pontang Moerad, dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.
Secara umum, dissenting opinion adalah pendapat dari satu atau lebih, dari hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatan ketidaksetujuan terhadap putusan penghakiman dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan penghakiman di dalam sebuah sidang pengadilan.
Menurut Collins Dictionary, dissenting opinion merupakan istilah dalam bidang hukum yang biasanya digunakan pada pengadilan banding. Dissenting opinion dapat diartikan menjadi salah satu mekanisme yang digunakan
untuk memberikan kesempatan kepada hakim untuk menerapkan ilmunya secara optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara menyeluruh dan memikirkan secara matang dalam menilai dan memutus suatu perkara. Namun, perbedaan pendapat (dissenting opinion) tetap merupakan pendapat minoritas terhadap suatu isu hukum yang dipertentangkan dan berkontribusi pada perdebatan publik mengenai masalah tersebut.
Advertisement
Dissenting Opinion di Indonesia
Di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental memang sangat asing dengan istilah dissenting opinion. Saat pertama kali lahir, Dissenting Opinion tidak mempunyai landasan yuridis formal karena praktek hakim yang berkembang.
Pertama kalinya dissenting opinion ini memiliki landasan yuridis di dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan sudah ada ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion. Pengaturan dissenting opinion selanjutnya terdapat dalam 2 (dua) Undang-Undang bidang Kehakiman yaitu UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) mengatur tentang dissenting opinion yaitu pada Ayat (4) dijelaskan bahwa didalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pada ayat (5) dijelaskan Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dissenting opinion diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) dan (4) sebagai berikut: Pasal 30 ayat (2) menggariskan, dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pada ayat (3) ditambahkan, ”dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan, sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.
Contoh Kasus Dissenting Opinion di Indonesia
Di Indonesia terdapat beberapa contoh penggunaan Dissenting Opinion dalam sejarah peradilan ditingkat kasasi yaitu :
- Dissenting Opinion yang dilakukan oleh Hakim Agung, Artidjo Alkostar pada kasus Bank Bali pada akhir Juni 2001. Putusan Majelis Kasasi yang membebaskan Joko S. Tjandra terdakwa tindak korupsi dalam kasus Bank Bali. Sebagai anggota Majelis, Artidjo mengeluarkan Dissenting Opinion atas putusan yang didukung dua anggota Majelis lain tersebut. Dissenting Opinion Artidjo sebenarnya tidak dicantumkan dalam berkas putusan, namun dengan inisiatif sendiri Hakim Agung nonkarier itu membeberkan isi perbedaan pendapat itu kepada masyarakat, khususnya pers.
- Contoh lainnya terjadi sekitar April 2002. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi yang disertai Dissenting Opinion yaitu menolak permohonan kepailitan oleh PT. Bank Niaga Tbk terhadap PT Barito Pacific Timber Tbk. Maju selangkah dibandingkan dengan perkara Bank Bali, putusan Majelis untuk perkara kepailitan ini secara tegas mencantumkan pendapat seorang Hakim Agung yang berbeda sebagai Dissenting Opinion, namun sayangnya nama si Hakim Agung tidak disebutkan
Advertisement
Kelemahan dan Keuntungan Dissenting Opinion
Penerapan dissenting opinion memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Pranata dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama anggota Majelis atau sesama hakim. Pranata ini sejalan dengan tujuan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
- Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan memutus perkara.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini diharapkan hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral ataupun sesuai dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang mewajibkan memberikan pendapat pada setiap perkara yang diperiksa dan diputus.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting opinion setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada kemungkinan mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta dasar-dasar dan pertimbangan sosiologis yang memadai.
Selain itu, dissenting opinion juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
- Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas). Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas). Ada kemungkinan pendapat minoritas (dissenting) itulah yang benar dan adil.
- Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pendapat diantara anggota majelis hakim yang seharusnya memutus dengan musyawarah bersama.
- Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim, terutama untuk masyarakat yang mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zekelijk, seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat.
- Pranata dissenting opinion dapat menimbulkan sifat individualis yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota lain.